Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuding Pemilu 2014 Inkonstitusional, Yusril Bakal Tak "Nyapres"

Kompas.com - 24/01/2014, 13:13 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada 2019. Yusril pun mempertimbangkan untuk menarik diri dari bursa calon Presiden pada Pemilu 2014.

“Saya akan mempertimbangkan dulu. Bisa jadi hasil pemilihan tahun 2014 ini tidak legitimate. Kalau sudah begitu, buat apa kita ikut dalam pemilihan yang tidak legitimate seperti itu? Terserah kalau yang lain masih ingin mengejar kekuasaan. Bagi saya, tidak,” ujar Yusril saat dihubungi, Jumat (24/1/2014).

Yusril menjelaskan, putusan pengadilan seharusnya berlaku semenjak dibacakan, demikian pula dengan putusan MK. Penundaan pelaksanaan putusan, menurutnya, akan menyebabkan kevakuman hukum.

Dia menyoroti putusan MK yang menyatakan bahwa sebagian pasal dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Keputusani ini harus dijalankan saat itu juga.

Jika Pemilu 2014 tetap menggunakan UU Pilpres yang lama, Yusril menilai hasil dari pemilu nantinya akan dianggap inkonstitusional. Dia yakin akan ada masyarakat yang akan menggugat hasil pemilu 2014.

Saat ditanyakan apakah dirinya akan menggugat hasil pemilu 2014 nantinya, Yusril pesimistis. Menurut Yusril, MK telah melakukan kesalahan besar dalam putusan pemilu serentak di 2019. Dengan demikian, dia tak lagi percaya MK bisa memberikan putusan yang adil jika dirinya menggugat hasil pemilu 2014.

“Yang sidang juga dia-dia lagi, yang buat keputusan blunder seperti sekarang. Kacau balau memang negeri ini,” ujar Yusril.

Selain mempertimbangkan mundur dari bursa calon Presiden dari PBB, Yusril juga mempertimbangkan untuk mencabut permohonannya. Dia mengaku kecewa dengan putusan MK yang lebih bersifat politis. Dia merasa keputusan pemilu serentak yang ditundah tahun 2019 akan memberikan keuntungan bagi partai-partai besar.

“Yang maju menjadi Presiden nanti paling hanya Megawati, pemenang konvensi Demokrat, dan Partai Golkar. Hasilnya akan itu-itu saja,” kata Yusril.

Seperti diberitakan, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan di 2014, menurut MK, pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.

MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan Pileg dan Pilpres tahun 2009 yang berlangsung tidak serentak dan akan diulangi Pemilu 2014 tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Dengan keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pileg secara serentak.

Dengan keputusan MK itu, maka syarat pengusungan capres-cawapres pada Pilpres 2014 tetap berpegang pada UU Pilpres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tak cukup, parpol mesti berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

APEC 2024, Mendag Zulhas Sebut Indonesia-Korsel Sepakati Kerja Sama di Sektor Mobil Listrik dan IKN

APEC 2024, Mendag Zulhas Sebut Indonesia-Korsel Sepakati Kerja Sama di Sektor Mobil Listrik dan IKN

Nasional
Kebebasan Pers Vs RUU Penyiaran: Tantangan Demokrasi Indonesia

Kebebasan Pers Vs RUU Penyiaran: Tantangan Demokrasi Indonesia

Nasional
Tanggapi Keluhan Warga, Mensos Risma Gunakan Teknologi dalam Pencarian Air Bersih

Tanggapi Keluhan Warga, Mensos Risma Gunakan Teknologi dalam Pencarian Air Bersih

Nasional
Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Nasional
Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Nasional
GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

Nasional
Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Nasional
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Nasional
PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

Nasional
Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Nasional
Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Nasional
Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Nasional
Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com