"Kita enggak boleh terpaku sama CPI (corruption perception index) karena itu punya metodologi tersendiri yang tidak bisa mengukur sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi. KPK misalnya, mengembangkan beberapa, antara lain inisiatif antikorupsi, upaya-upaya yang dilakukan lembaga-lembaga, itu trennya naik," kata Bambang di sela-sela acara "Pekan Antikorupsi 2013" di Jakarta, Senin (9/12/2013).
Bambang menilai, CPI atau IPK Indonesia yang stagnan tersebut harus dimaknai secara proporsional. Menurutnya, IPK itu hanya menggambarkan persepsi korupsi para pakar dan pebisnis di sektor publik.
"Itu respondennya pakar dan kalangan bisnis, itu gabungan dari 9 indeks lain, yang dilihat lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kepentingan bisnis. Kita enggak boleh terpaku sama CPI, karena itu punya metodologi tersendiri yang tidak bisa mengukur sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi," tuturnya.
Dia juga menilai bahwa CPI/IPK bukan satu-satunya acuan dalam mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi di suatu negara. "KPK kan membangun sistem, Anda pergi ke kantor Imigrasi, bandingkan lima tahun lalu dan sekarang. Sekarang kalau bikin paspor jelas jam berapa dilayani, siapa yang melayani, berapa lama dilayani, di titik itu ada kemajuan, tapi tidak diukur sepenuhnya oleh CPI," kata Bambang.
Seperti diberitakan, tahun 2013, IPK Indonesia stagnan dengan skor 32 dari skala 0-100. Semakin tinggi skor IPK sebuah negara, semakin bersih tingkat korupsi di negara tersebut. Menurut Bambang, IPK Indonesia bisa saja ditingkatkan jika pemerintah mengikuti alur metodologi IPK tersebut dengan masuk ke sektor swasta dan kalangan bisnis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.