Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satpam Marten, dari “Nyaleg” Banting Setir ke Dunia Hukum

Kompas.com - 22/09/2013, 19:21 WIB
Deytri Robekka Aritonang

Penulis


JAKARTA,KOMPAS.com - Petugas satuan pengamanan (satpam) yang juga mahasiswa hukum Marten Boiliu, yang menang melawan pemerintah dan DPR di Mahkamah Konstitusi ternyata pernah menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR. Pengalamannya berpolitik itulah yang mendorong dia menempuh pendidikan hukum dan memiliki bekal mengajukan judicial review (JR) atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakeerjaan.

Pada Pemilu 2009, Marten mencalonkan diri menjadi calon anggota parlemen dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia berupaya merebut suara untuk dapat melenggang ke Senayan, Jakarta. “Dari luar sini saya dengar politik itu kotor. Saya berharap bisa memperbaikinya dengan terlibat langsung di dalamnya,” ujar Marten soal alasannya terjun ke dunia politik, saat ditemui di kampusnya di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Minggu (22/9/2013).

Bermodal ijazah SMA dan uang tabungan dirinya dan istrinya, satpam yang ditugaskan di PT Telkom, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan itu, mendaftarkan diri menjadi caleg. Dia juga memberanikan diri mengajukan pinjaman uang ke bank. “Gali-gali lobanglah,” kisahnya. Namun  untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Marten harus menelan kekalahan dalam perhelatan demokrasi itu.

Dalam perjalanan politiknya itu, dia menyadari, untuk dapat bertahan di panggung politik dia harus rela meninggalkan nuraninya. “Banyak hal yang bertentangan dengan nurani saya. Untuk bisa bertahan, saya harus mengeraskan hati dan untuk itu saya tidak sanggup,” tuturnya soal alasannya menyerah dan mundur dari dunia politik.

Marten mulai pesimistis dapat berjuang dari jalur politik. Dia sadar, dirinya tidak dapat berjuang sendiri membersihkan dunia politik Indonesia. “Istilahnya, kalau sapu lidi ada 100 batang lidi. Yang 99 batang kotor dan hanya satu batang lidi yang bersih, tidak akan bisa membuat yang lain bersih dan menyapu dengan bersih,” ujarnya beranalogi.

Anak petani itu, tidak serta merta bangkit dari kejatuhannya. Dia bahkan mengaku hampir gila karena tekanan yang dialaminya. Namun, berkat dukungan sang istri, Ester Fransisca Nuban, perlahan Marten bangkit dari keterpurukan. “Untuk bisa bangkit saya harus sadar dan sehat. Maka, sedikit demi sedikit saya tutup lubang (membayar utang) waktu saya nyaleg. Lalu saya mulai merencanakan hidup saya selanjutnya,” paparnya.

Dari perenungannya, pada pertengahan 2010, Marten mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dia memutuskan demikian karena menyaksikan hal-hal yang melanggar hukum dan mendustai nuraninya saat bergelut di dunia politik. “Saya memang sejak kecil sudah tertarik pada hukum. Tapi semakin mantap kuliah di fakultas hukum karena peristiwa waktu nyaleg itu,” ujar anak ketujuh dari delapan bersaudara tersebut.

Tidak seperti mahasiswa UKI kebanyakan, uang yang dimiliki Marten ketika mendaftar kuliah  hanya Rp 200.000. Menurutnya, pada saat itu dana yang dimilikinya hanya cukup untuk membeli formulir dan jaket almamater. Marten kemudian memberanikan diri memohon keringanan dari pihak universitas. Dia meminta diberi waktu lebih panjang untuk melunasi biaya kuliahnya.

“Saya beri jaminan akan saya bayar pada waktu yang kami sepakati bersama,” ungkap dia.

Seperti mendapat keajaiban, Marten dapat menjalani kuliahnya hingga kini memasuki semester 8 dan akan menyusun skripsi. Setiap semester, Martin harus membayar SPP hingga Rp 5 juta. Dengan gaji saat ini hanya sekitar Rp 3 juta dan gaji istri yang tidak jauh berbeda, Marten mengaku harus pandai mengatur keuangan keluarganya.

Ia bersyukur karena tidak perlu membayar sewa rumah kontrakan yang dia tempati bersama keluarganya. Sang pemilik rumah memercayakan dia mengelola beberapa rumah kontrakan dengan imbalan tidak perlu membayar sewa. “Pokoknya, saya ini hidup di tengah keajaiban,” katanya.

Keajaiban lainnya terjadi saat ia menyusun materi permohonan judicial review di MK, 2012 lalu. Marten mengaku sangat membutuhkan komputer sebagai alat kerja. Ia tidak berani menyusun itu di tempat rental komputer karena takut ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengetahuinya. Di samping, Marten tidak memberi tahu siapa pun soal gugatannya itu selain istrinya.

“Saya berdoa pada Tuhan. Entah bagaimana, puji Tuhan, tiba-tiba ada orang menawarkan membelikan laptop. Memang sulit dijelaskan dengan logika. Tapi itulah mukjizat,” jelasnya.

Hal yang sama juga terjadi pada saat ia membutuhkan printer. Tidak mau pemberian orang-orang itu sia-sia, Marten pun semakin serius mengerjakan materi perlawanannya terhadap pemerintah dan legislator.

Marten juga percaya, kemenangannya di MK adalah keajaiban dari Tuhan, bukan hanya baginya, tetapi juga bagi buruh lain yang bernasib sama dengannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Nasional
Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Nasional
UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

Nasional
Jokowi Ingin TNI Pakai 'Drone', Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan 'Drone AI'

Jokowi Ingin TNI Pakai "Drone", Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan "Drone AI"

Nasional
Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Nasional
Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com