Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengirim Bom "Pemain" Lama

Kompas.com - 16/03/2011, 17:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo mengungkapkan, selain profesional, pelaku pengiriman tiga bom berbentuk buku terhadap aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere, dan Ketua Umum Pemuda Pancasila Yapto Soeryosumarno adalah "pemain" lama. Motif mereka masih sama, yakni menciptakan teror secara umum dan menunjukkan keberadaan mereka. Namun kali ini dengan modus yang berbeda.

"Cuma merakitnya dengan casing yang baru. Dulu casingnya pakai tupperware, sekarang pakai buku, bisa ganti-ganti casingnya," ujar Mardigu seusai menghadiri diskusi di DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (16/3/2011).

Dia menduga, pelaku pengirim bom buku merupakan jaringan teroris yang sama dengan pelaku sejumlah teror di Indonesia seperti di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terjadi baru-baru ini. Hal itu terlihat dari target mereka yang masih sama. Mereka menyasar orang-orang atau kelompok-kelompok yang dinilai pluralis dan liberal.

"Mereka punya SOP (Standar Operasional Prosedur), pola, mereka menarget panji negara, duta besar, orang asing di Indonesia, penjara, yang anti gerakan mereka scara ideologis, kaum pluralis, liberal, atau beda agama," papar Mardigu yang juga hipnoterapis ini.

Seperti diketahui, Ulil adalah penggiat aliran Islam Liberal. Menurut Mardigu, Ulil menjadi target kali ini karena dia sedang banyak disorot media terkait posisinya di Partai Demokrat. "Mereka mengincar waktun yang tepat. Ulil lebih bagus, karena ada unsur Partai Demokratnya," ujar Mardigu.

Kendati demikian, tegas Mardigu, motif serangan tiga bom berbentuk buku bukan motif personal atau politis. "Mereka cuma berikan statemen (eksistensi). Kalau mau bunuh, pasti bomnya lebih besar. Sementara yang tiga kemarin low explosive," ucapnya.

Jaringan teroris yang beroperasi di Indonesia, menurut Mardigu, bekerja sambung menyambung. Mereka mengenal pembagian tugas. "Ada yang tugasnya propaganda, pembuat bom, cari imunisi," katanya.

Karena amunisi mulai berkurang, lanjutnya, jaringan teroris tersebut menggunakan serangan tipe sel. Serangan kecil-kecil yang beruntun dan lebih sulit terdeteksi. "Karena perangnya sel, kan ada konvensional, 100 lawan 100, kalau sel 100 lawan 1, lebih sulit (dideteksi)," katanya.

Mardigu juga menilai, pelaku perakit bom adalah orang profesional yang pernah mengikuti pelatihan di luar negeri. Hal tersebut terlihat dari penggunaan pegas sebagai detenator yang cenderung sulit dikerjakan. Detenator berupa pegas tersebut pun, tambah Mardigu, biasa ditemukan pada bom yang meledak di Irlandia dan Palestina.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com