SUDAH dapat diduga sebelumnya, dengan ditetapkannya ibu kota negara (IKN) di Pulau Kalimantan, baik di Provinsi Kalimantan Tengah maupun di Kalimantan Timur (sebelum ditetapkan Nusantara di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Panajam Paser Utara Kaltim seperti sekarang ini), salah satu faktor yang mengganjal pembangunan IKN adalah adanya konflik tenurial.
Konflik tenurial adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.
Menurut tipologi konflik tenurial dapat diklasifikasikan menjadi:
Pertama, konflik masyarakat adat dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini terjadi akibat ditunjuknya dan/atau ditetapkannya suatu wilayah adat sebagai hutan negara.
Kedua, konflik antara masyarakat Vs KLHK Vs Kementerian ATR/BPN. Misalnya, konflik penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.
Ketiga, konflik antara masyarakat transmigran Vs masyarakat adat/lokal Vs KLHK Vs pemerintah daerah Vs Kementerian ATR/BPN. Misalnya, konflik karena program transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan.
Keempat, konflik antara masyarakat petani pendatang Vs KLHK Vs pemerintah daerah. Misalnya, konflik karena adanya gelombang petani pendatang yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut.
Kelima, konflik antara masyarakat desa Vs KLHK. Misalnya, konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa.
Keenam, konflik antara calo tanah Vs elite politik Vs masyarakat petani Vs KLHK Vs Kementerian ATR/BPN.
Misalnya, konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan hutan dan membantu menerbitkan sertifikat pada tanah tersebut.
Ketujuh, konfilk antara masyarakat lokal (adat) Vs pemegang izin. Meskipun ini terjadi akibat KLHK melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkan kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang izin;
Kedelapan, konflik antarpemegang izin kehutanan dan izin lain seperti pertambangan dan perkebunan.
Kesembilan, konflik karena gabungan berbagai aktor dari 1-8.
Kisruh 2.086 hektare lahan IKN yang belum tuntas penyelesaiannya dan menyebabkan mundurnya Ketua dan Wakil Ketua Otorita IKN (Bambang-Donny), membuktikan bahwa penyelesaian konflik tenurial rumit dan kompleks serta butuh waktu dan proses yang cukup lama.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri, mengungkapkan tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat.
Lahan konsesi masuk hingga ke desa-desa yang dihuni oleh transmigran. Sedangkan hak masyarakat adat sudah lama hilang sejak pemerintah, masa orde baru, memberikan konsesi kepada perusahaan.
Masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas.
Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi tanda wilayah penguasaan telah hilang dengan adanya operasi perusahaan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur membeberkan sejumlah konflik tenurial hingga perampasan lingkungan hidup rakyat di kawasan delineasi Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ketua WALHI Kaltim, Fathur Roziqin Fen menyampaikan bahwa total luas wilayah delineasi IKN mencapai 254.104 Ha.
Luasan tersebut masuk dalam dua kabupaten, yakni Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara. IKN masuk dalam wilayah Kabupaten PPU sebesar 92.943 Ha. Sedangkan Kukar sebesar 161.296 Ha, dan berada di 53 desa/kelurahan.
Lebih lanjut, Roziqin menjelaskan, adanya tumpang tindih perizinan di dalam wilayah delineasi IKN itu. Utamanya dalam izin usaha pertambangan, izin perkebunan, dan izin kehutanan.