Hal ini menjadikan posisi kawasan hutan yang telah ditetapkan tidak bisa terlepas dari bayang-bayang konflik di kemudian hari.
Apa yang dinyatakan dalam Undang-Undang ini kemudian menuai ketidakpuasan atas tidak dijelaskannya secara gamblang tentang status hutan adat.
Argumentasi yang disampaikan adalah terdapat masyarakat hukum adat yang telah bergenerasi berdiam di kawasan hutan, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.
Undang-Undang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (Pasal 5, ayat 1).
Dalam lanjutannya (Pasal 5, ayat 2), pengakuan terhadap hutan adat dalam lingkup hutan negara diakui keberadaannya selama masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaanya oleh pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah masih memegang peran penting dalam penentuan status hutan adat. Di sisi lain, masyarakat hukum adat dipersaingkan secara bebas dengan para pemegang izin konsesi dan berbagai status kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara.
Terdapat 2 (dua) gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kawasan hutan. Pertama, status definitif kawasan hutan pascaputusan MK Nomor 45/2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 45/PUU-IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan diterbitkan pada 21 Februari 2012.
Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para pemohon di antaranya beberapa bupati dari Kalimantan Tengah untuk menghapus frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan.
Redaksi baru dari pasal ini adalah “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau [hapus] ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Implikasi dari revisi ini adalah penentuan kawasan hutan tidak hanya selesai pada tahap penunjukan kawasan hutan saja, tetapi juga harus diikuti sampai kepada proses penetapan kawasan hutan.
Mahkamah Konstitusi juga memberikan pertimbangan mengenai ketentuan peralihan tentang kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum terbitnya putusan MK ini dinyatakan tetap diakui keabsahannya.
Status penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi penunjukan ini belum bisa dimaknai sebagai keputusan yang memiliki kekuatan hukum.
Karena kawasan hutan tersebut masih harus ditata-batas, dipetakan dan ditetapkan sehingga dapat dikukuhkan sebagai kawasan hutan definitif.
Sebelumnya izin pengelolaan hutan diberikan kepada pihak ketiga, walaupun status kawasan hutan tersebut belum definitif.
Kedua, status hutan adat pascaputusan MK Nomor 35/2012. Hasil pengujian materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang nomor 41/1999 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar Riau, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak Banten telah mengabulkan sebagian butir-butir pemohon terhadap pengakuan keberadaan hutan adat lewat Putusan MK nomor 35/2012.
Dalam putusannya, MK mengabulkan perubahan Pasal 1 angka 6 UU nomor 41/1999 yang menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara [hapus] yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Dengan kata lain, konsekuensi dari keputusan ini, terdapat tiga nomenklatur status hutan di Indonesia, yaitu hutan negara, hutan hak, dan hutan adat.
Namun demikian, karena Pasal 67 UU No 41/1999 masih berlaku hingga saat ini, yang menyebut bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah, maka hutan adat masih diberlakukan seolah tetap menjadi hutan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.