Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Konflik Tenurial Mengganjal Pembangunan IKN

Kompas.com - 14/06/2024, 07:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH dapat diduga sebelumnya, dengan ditetapkannya ibu kota negara (IKN) di Pulau Kalimantan, baik di Provinsi Kalimantan Tengah maupun di Kalimantan Timur (sebelum ditetapkan Nusantara di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Panajam Paser Utara Kaltim seperti sekarang ini), salah satu faktor yang mengganjal pembangunan IKN adalah adanya konflik tenurial.

Konflik tenurial adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.

Menurut tipologi konflik tenurial dapat diklasifikasikan menjadi:

Pertama, konflik masyarakat adat dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini terjadi akibat ditunjuknya dan/atau ditetapkannya suatu wilayah adat sebagai hutan negara.

Kedua, konflik antara masyarakat Vs KLHK Vs Kementerian ATR/BPN. Misalnya, konflik penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.

Ketiga, konflik antara masyarakat transmigran Vs masyarakat adat/lokal Vs KLHK Vs pemerintah daerah Vs Kementerian ATR/BPN. Misalnya, konflik karena program transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan.

Keempat, konflik antara masyarakat petani pendatang Vs KLHK Vs pemerintah daerah. Misalnya, konflik karena adanya gelombang petani pendatang yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut.

Kelima, konflik antara masyarakat desa Vs KLHK. Misalnya, konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa.

Keenam, konflik antara calo tanah Vs elite politik Vs masyarakat petani Vs KLHK Vs Kementerian ATR/BPN.

Misalnya, konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan hutan dan membantu menerbitkan sertifikat pada tanah tersebut.

Ketujuh, konfilk antara masyarakat lokal (adat) Vs pemegang izin. Meskipun ini terjadi akibat KLHK melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkan kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang izin;

Kedelapan, konflik antarpemegang izin kehutanan dan izin lain seperti pertambangan dan perkebunan.

Kesembilan, konflik karena gabungan berbagai aktor dari 1-8.

Konflik tenurial IKN

Kisruh 2.086 hektare lahan IKN yang belum tuntas penyelesaiannya dan menyebabkan mundurnya Ketua dan Wakil Ketua Otorita IKN (Bambang-Donny), membuktikan bahwa penyelesaian konflik tenurial rumit dan kompleks serta butuh waktu dan proses yang cukup lama.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri, mengungkapkan tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat.

Lahan konsesi masuk hingga ke desa-desa yang dihuni oleh transmigran. Sedangkan hak masyarakat adat sudah lama hilang sejak pemerintah, masa orde baru, memberikan konsesi kepada perusahaan.

Masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas.

Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi tanda wilayah penguasaan telah hilang dengan adanya operasi perusahaan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur membeberkan sejumlah konflik tenurial hingga perampasan lingkungan hidup rakyat di kawasan delineasi Ibu Kota Nusantara (IKN).

Ketua WALHI Kaltim, Fathur Roziqin Fen menyampaikan bahwa total luas wilayah delineasi IKN mencapai 254.104 Ha.

Luasan tersebut masuk dalam dua kabupaten, yakni Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara. IKN masuk dalam wilayah Kabupaten PPU sebesar 92.943 Ha. Sedangkan Kukar sebesar 161.296 Ha, dan berada di 53 desa/kelurahan.

Lebih lanjut, Roziqin menjelaskan, adanya tumpang tindih perizinan di dalam wilayah delineasi IKN itu. Utamanya dalam izin usaha pertambangan, izin perkebunan, dan izin kehutanan.

Antara izin pertambangan dan kehutanan sebesar 33.742,63 Ha. Selain itu, ada izin pertambangan dan perkebunan 53.731,31 Ha. Terakhir izin perkebunan dan kehutanan sebesar 1.382,55 Ha.

Tiga aktor yang terlibat dalam konflik tenurial di wilayah delineasi IKN adalah Bank Tanah, KIPP dan PT ITCHI KU.

Berdasarkan data dari WALHI Kaltim, Bank Tanah mematok lahan ex HGU dan lahan masyarakat pada 2022 lalu. Perampasan lahan dilakukan untuk kebutuhan Bandara VVIP IKN.

Sejak 2017, PT. ITCHI KU mengancam lahan warga untuk digusur di atas HGB perusahaan tersebut. Pada 2023, mereka melakukan penggusuran lahan dan rumah warga.

Sebagai informasi, berikut data kelurahan dan desa yang terdampak dalam perampasan hak lingkungan hidup di wilayah dalam atau luar delineasi IKN, yakni Kelurahan Gersik, Kelurahan Pantai Lango, Desa Sukaraja, Kelurahan Sepaku, Desa Bumi Harapan, Kelurahan Pemaluan, Desa Telemow, Desa Binuang, dan Kelurahan Maridan.

Berdasarkan Standar Operasional Prosedir (SOP) konflik tenurial dalam kawasan hutan, proses penyelesaian konflik dimulai dengan laporan hasil verifikasi lapangan.

Dari laporan tersebut akan diperoleh rekomendasi yang dapat dipilih untuk dilaksanakan. Rekomendasi penyelesaian konflik dapat berupa negosiasi, mediasi, penegakan hukum, dan penyerahan konflik kepada institusi yang lebih tinggi.

Penyebab mendasar konflik tenurial

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia.

Meskipun dari seluruh kawasan hutan seluas 125,7 juta hektare areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) telah mencapai 105,8 juta hektare pada akhir tahun 2023 (18,16 persen), namun tata batas yang dimaksud baru sebatas tata batas luar, belum termasuk tata batas antarfungsi kawasan hutan (hutan, lindung, hutan konservasi dan hutan produksi).

Dampaknya konflik tenurial terus terjadinya dan skalanya makin meningkat dan masif seiring dengan laju pertambahan penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar hutan.

Setidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim di sekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33.000 desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah.

Di tingkat lapangan, batas berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, di mana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.

Proses ini semua untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) no. 44/2004 tentang Perencanaan Hutan yang merupakan turunan dari UU No 41/1999 tentang kehutanan.

Selanjutnya UU dan PP ini direvisi dan disempurnakan dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan PP No 23/2021 tentang penyelengaraan kehutanan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan, tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi. Padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.

Sudah sejak lama permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada sumber daya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat di mana hutan itu tumbuh dan berada.

Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumber daya yang ada di dalamnya.

Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik di antara para pemangku kepentingan, di antaranya antardepartemen dan instansi pemerintah, antarpemerintah pusat dan daerah, antarmasyarakat lokal dengan pemerintah, dan antarmasyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/lisensi yang diberikan oleh pemerintah.

Masalah utamanya adalah suatu kawasan hutan negara bisa jadi diakui oleh negara terlebih dahulu, tanpa melibatkan pihak lain terutama masyarakat lokal yang telah ada terlebih dahulu di sana.

Hal ini menjadikan posisi kawasan hutan yang telah ditetapkan tidak bisa terlepas dari bayang-bayang konflik di kemudian hari.

Apa yang dinyatakan dalam Undang-Undang ini kemudian menuai ketidakpuasan atas tidak dijelaskannya secara gamblang tentang status hutan adat.

Argumentasi yang disampaikan adalah terdapat masyarakat hukum adat yang telah bergenerasi berdiam di kawasan hutan, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri.

Undang-Undang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (Pasal 5, ayat 1).

Dalam lanjutannya (Pasal 5, ayat 2), pengakuan terhadap hutan adat dalam lingkup hutan negara diakui keberadaannya selama masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaanya oleh pemerintah.

Dengan kata lain, pemerintah masih memegang peran penting dalam penentuan status hutan adat. Di sisi lain, masyarakat hukum adat dipersaingkan secara bebas dengan para pemegang izin konsesi dan berbagai status kawasan hutan yang ditetapkan oleh negara.

Gugatan di MK tentang Kawasan Hutan

Terdapat 2 (dua) gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kawasan hutan. Pertama, status definitif kawasan hutan pascaputusan MK Nomor 45/2011.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 45/PUU-IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan diterbitkan pada 21 Februari 2012.

Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para pemohon di antaranya beberapa bupati dari Kalimantan Tengah untuk menghapus frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan.

Redaksi baru dari pasal ini adalah “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau [hapus] ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Implikasi dari revisi ini adalah penentuan kawasan hutan tidak hanya selesai pada tahap penunjukan kawasan hutan saja, tetapi juga harus diikuti sampai kepada proses penetapan kawasan hutan.

Mahkamah Konstitusi juga memberikan pertimbangan mengenai ketentuan peralihan tentang kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum terbitnya putusan MK ini dinyatakan tetap diakui keabsahannya.

Status penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi penunjukan ini belum bisa dimaknai sebagai keputusan yang memiliki kekuatan hukum.

Karena kawasan hutan tersebut masih harus ditata-batas, dipetakan dan ditetapkan sehingga dapat dikukuhkan sebagai kawasan hutan definitif.

Sebelumnya izin pengelolaan hutan diberikan kepada pihak ketiga, walaupun status kawasan hutan tersebut belum definitif.

Kedua, status hutan adat pascaputusan MK Nomor 35/2012. Hasil pengujian materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang nomor 41/1999 oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar Riau, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak Banten telah mengabulkan sebagian butir-butir pemohon terhadap pengakuan keberadaan hutan adat lewat Putusan MK nomor 35/2012.

Dalam putusannya, MK mengabulkan perubahan Pasal 1 angka 6 UU nomor 41/1999 yang menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara [hapus] yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Dengan kata lain, konsekuensi dari keputusan ini, terdapat tiga nomenklatur status hutan di Indonesia, yaitu hutan negara, hutan hak, dan hutan adat.

Namun demikian, karena Pasal 67 UU No 41/1999 masih berlaku hingga saat ini, yang menyebut bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah, maka hutan adat masih diberlakukan seolah tetap menjadi hutan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 30 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pakar Sebut Penyitaan Aset Judi Online Bisa Lebih Mudah jika Ada UU Perampasan Aset

Pakar Sebut Penyitaan Aset Judi Online Bisa Lebih Mudah jika Ada UU Perampasan Aset

Nasional
Eks Pejabat Kemenkes Sebut Harga APD Covid-19 Ditentukan BNPB

Eks Pejabat Kemenkes Sebut Harga APD Covid-19 Ditentukan BNPB

Nasional
Transaksi Judi 'Online' Meningkat, Kuartal I 2024 Tembus Rp 101 Triliun

Transaksi Judi "Online" Meningkat, Kuartal I 2024 Tembus Rp 101 Triliun

Nasional
Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Nasional
Habiburokhman: Judi 'Online' Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Habiburokhman: Judi "Online" Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Nasional
Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Nasional
Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Nasional
Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Nasional
Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Nasional
Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Nasional
Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Nasional
Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Nasional
Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Nasional
Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com