Antara izin pertambangan dan kehutanan sebesar 33.742,63 Ha. Selain itu, ada izin pertambangan dan perkebunan 53.731,31 Ha. Terakhir izin perkebunan dan kehutanan sebesar 1.382,55 Ha.
Tiga aktor yang terlibat dalam konflik tenurial di wilayah delineasi IKN adalah Bank Tanah, KIPP dan PT ITCHI KU.
Berdasarkan data dari WALHI Kaltim, Bank Tanah mematok lahan ex HGU dan lahan masyarakat pada 2022 lalu. Perampasan lahan dilakukan untuk kebutuhan Bandara VVIP IKN.
Sejak 2017, PT. ITCHI KU mengancam lahan warga untuk digusur di atas HGB perusahaan tersebut. Pada 2023, mereka melakukan penggusuran lahan dan rumah warga.
Sebagai informasi, berikut data kelurahan dan desa yang terdampak dalam perampasan hak lingkungan hidup di wilayah dalam atau luar delineasi IKN, yakni Kelurahan Gersik, Kelurahan Pantai Lango, Desa Sukaraja, Kelurahan Sepaku, Desa Bumi Harapan, Kelurahan Pemaluan, Desa Telemow, Desa Binuang, dan Kelurahan Maridan.
Berdasarkan Standar Operasional Prosedir (SOP) konflik tenurial dalam kawasan hutan, proses penyelesaian konflik dimulai dengan laporan hasil verifikasi lapangan.
Dari laporan tersebut akan diperoleh rekomendasi yang dapat dipilih untuk dilaksanakan. Rekomendasi penyelesaian konflik dapat berupa negosiasi, mediasi, penegakan hukum, dan penyerahan konflik kepada institusi yang lebih tinggi.
Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia.
Meskipun dari seluruh kawasan hutan seluas 125,7 juta hektare areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) telah mencapai 105,8 juta hektare pada akhir tahun 2023 (18,16 persen), namun tata batas yang dimaksud baru sebatas tata batas luar, belum termasuk tata batas antarfungsi kawasan hutan (hutan, lindung, hutan konservasi dan hutan produksi).
Dampaknya konflik tenurial terus terjadinya dan skalanya makin meningkat dan masif seiring dengan laju pertambahan penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar hutan.
Setidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim di sekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33.000 desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Persoalan ketidakpastian tata batas hutan tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah.
Di tingkat lapangan, batas berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.
Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, di mana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Proses ini semua untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.
Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) no. 44/2004 tentang Perencanaan Hutan yang merupakan turunan dari UU No 41/1999 tentang kehutanan.
Selanjutnya UU dan PP ini direvisi dan disempurnakan dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan PP No 23/2021 tentang penyelengaraan kehutanan.
Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan, tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi. Padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.
Sudah sejak lama permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada sumber daya yang ada di dalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat di mana hutan itu tumbuh dan berada.
Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumber daya yang ada di dalamnya.
Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik di antara para pemangku kepentingan, di antaranya antardepartemen dan instansi pemerintah, antarpemerintah pusat dan daerah, antarmasyarakat lokal dengan pemerintah, dan antarmasyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi/lisensi yang diberikan oleh pemerintah.
Masalah utamanya adalah suatu kawasan hutan negara bisa jadi diakui oleh negara terlebih dahulu, tanpa melibatkan pihak lain terutama masyarakat lokal yang telah ada terlebih dahulu di sana.