JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan pengalamannya berhadapan dengan friksi yang terjadi antara dua institusi penegak hukum, Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penanganan kasus hukum.
Menurut Mahfud, banyak masalah yang terjadi antara dua penegak hukum itu sebelum kasus penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Ardiansyah oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
“Oh banyak, antara Polri dan Kejaksaan itu yang memang secara diam-diam mungkin harus dibuka juga ke publik,” kata Mahfud dikutip dari podcast Terus Terang yang dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Kamis (6/6/2024).
Dia lantas menceritakan dua kasus hukum yang cukup menyita perhatian publik, yakni pemulangan buronan terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang berhasil ditangkap di Malaysia. Lalu, kasus Nurhayati yang ditetapkan sebagai tersangka karena baru melaporkan dugaan korupsi kepala desanya setelah dua tahun.
Baca juga: Minta Polri Jelaskan Motif Penguntitan Jampidsus, Mahfud: Masyarakat Harus Diberi Ketentraman
Diketahui, Djoko Tjandra dijemput langsung oleh Kabareskrim Polri ketika itu Komjen Listyo Prabowo di Malaysia pada 30 Juli 2020.
Terkait proses pemulangan Djoko Tjandra, Mahfud membeberkan bahwa Kejaksaan sempat dibuat bingung karena Polri tidak juga menyerahkan terpidana untuk dieksekusi padahal batas waktu penyerahan hampir habis.
“Eksekusi itu kan harus diserahkan oleh Polri yang menjemput dari Malaysia ke Jakarta itu, harus diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dieksekusi paling lama 24 jam begitu mendarat di Indonesia,” ujarnya.
“Tahu ndak, (pemulangannya) pulang jam 11 malam, itu sampai jam 7 malam besok harinya belum diserahkan. Saya menyelesaikan lewat telepon terpaksa bicara dengan Idham Azis (Kapolri saat itu),” kata Mahfud melanjutkan.
Baca juga: Mahfud Sebut Friksi Antara Penegak Hukum Belum Hilang Berkaca dari Kasus Penguntitan Jampidsus
Menurut Mahfud, Kejaksaan Agung juga terus menghubunginya karena Polri belum juga menyerahkan Djoko Tjandra untuk dieksekusi. Sehingga dia terpaksa turun tangan padahal sedang berada di Malang, Jawa Timur.
Dia menceritakan melakukan pembicaraan melalui sambungan telepon dengan Kapolri, Jaksa Agung hingga Bareskrim dari sore hingga malam hari, untuk memastikan proses eksekusi bisa segera dilakukan. Pasalnya, Djoko Tjandra akan dibebaskan jika dalam waktu 24 jam tidak langsung dieksekusi oleh jaksa.
“Saya tidak tahu kenapa tidak diserahkan ke Kejaksaan Agung kan merasa dia bukan yang menangkap tapi dia wajib begitu tertangkap, wajib dia masukkan ke penjara. Sampai malam baru diserahkan dengan berbagai kesepakatan apa, teknis bagaimana,” ujar Mahfud.
Akhirnya, menurut Mahfud, Djoko Tjandra diserahkan ke Kejaksaan Agung meskipun waktunya sangat mepet dengan batas waktu eksekusi.
Baca juga: Mahfud Minta Presiden Jelaskan soal Penguntitan Jampidsus oleh Densus 88
Kemudian, Mahfud menceritakan penanganan kasus Nurhayati yang ditetapkan sebagai tersangka karena baru setelah dua tahun melaporkan adanya dugaan penyimpangan anggaran oleh kepala desanya.
Menurut dia, Nurhayati tidak bersalah karena tidak memiliki mens rea atau niat jahat melakukan korupsi. Dia baru melapor setelah dua tahun karena dulu berada di lingkaran kekuasaan itu lantaran bekerja sebagai bendahara.
“Saya teriak waktu itu, itu ndak benar dong, secara substansi mens rea-nya apa,” ujarnya.