KATA Reformasi sudah semakin hilang di ruang publik kita. Mayoritas narasi politik para politisi sudah semakin ahistoris.
Cita-cita ekonomi untuk menjadi negara besar dan maju tanpa dibarengi dengan narasi penguatan institusi demokrasi sudah menjadi cita-cita hampir semua pembesar negeri hari ini.
Bahaya oligarki sudah bukan lagi kekhawatiran para elite, karena kenikmatan-kenikmatan politik yang ditawarkan oleh jejaring oligarki semakin merasuk ke dalam nadi para elite politik negeri ini, lalu menyusupi suara-suara yang mereka gaungkan di ruang publik.
Semua pihak tentu mengharapkan Indonesia bisa semakin maju di segala sisi, sejahtera secara ekonomi, dan disegani secara geopolitik.
Namun demikian, kewajiban untuk tetap memperjuangkan kehadiran demokrasi yang berkualitas tinggi juga semestinya menyertainya.
Bukan saja karena tuntutan konstitusi, tapi juga karena secara historis ketidakwaspadaan kekuasaan kepada praktik-praktik nondemokratis memang telah terbukti hanya membuat rakyat banyak tak lebih dari sekadar penonton dan obyek penderita.
Sekalipun Orde Baru terbilang berhasil dari sisi ekonomi, sebut saja seperti itu, tetapi penolakan publik kepada Orde Baru di penghujung kekuasaannya adalah bukti bahwa keberhasilan ekonomi bukanlah tujuan tunggal yang diharapkan oleh publik dan bukan pula misi satu-satunya yang harus diperjuangkan oleh pemerintah.
Pembangunan ekonomi yang dijalankan dan dikawal secara demokratis adalah jalan yang paling diinginkan oleh publik dan paling simetris dengan cita-cita ideologis Indonesia, namun justru dilupakan oleh Orde Baru.
Karena itulah, narasi utama reformasi sangat kental dengan narasi demokratisasi dan pendalaman praktik demokrasi di Indonesia.
Pembenahan tata kelola pemerintahan agar tidak lagi dikuasai oleh praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi, pembenahan distribusi kue ekonomi agar lebih berkeadilan, penghentian praktik monopoli dan personalisasi (familialisasi) kekuasaan, dan pengutamaan praktik-praktik politik elektoral yang berbasiskan kepada kepentingan orang banyak, adalah isu-isu utama yang menyertai pelengseran rezim Orde Baru.
Namun, mulai sejak masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo, napas Reformasi semakin melemah, bahkan tersengal-sengal.
Isu-isu utama yang pernah bergema di masa awal Reformasi kini semakin terdengar sayup-sayup, bahkan pada bagian tertentu justru sudah redup.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi salah satu ujung tombak Reformasi untuk memberantas praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) kini justru berjalan seperti “zombie”.
KPK berjalan seperti mayat hidup yang sedang dijangkiti virus berbahaya, yakni virus “pemberantasan korupsi” titipan penguasa, bukan pemberantasan korupsi berbasiskan penilaian yang independen dan mandiri demi terciptanya praktik tata pemerintahan yang bersih.
Dari sisi ekonomi, kue ekonomi semakin terbagi secara timpang. Angka gini rasio justru semakin memburuk. Saat ini sudah berada di angka 0,388, memburuk dibanding tahun 2023 lalu 0,381.