Pun model penguasaan sumber-sumber daya ekonomi semakin oligarkis. Risikonya tidak saja yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, tapi juga ambisi untuk membangun perekonomian nasional semakin terbebani oleh biaya yang semakin mahal.
Semakin menguatnya praktik korupsi dan pungutan liar (pungli) di dalam birokrasi pemerintahan membuat angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia semakin memburuk, bahkan pernah mencapai angka 7.
Tahun lalu masih bertengger di level 6,8, naik tajam dibanding masa akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berhasil menorehkan angka 5.
Artinya, biaya berinvestasi semakin mahal. Sehingga biaya untuk mendapatkan angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga semakin mahal di satu sisi dan biaya untuk membuka lapangan pekerjaan baru dengan investasi baru juga semakin tinggi.
Bahkan pada ranah ini terlihat bahwa sebenarnya jika pemerintah semakin menjauh dari ambisi demokrasi justru akan semakin mempersulit pemerintah untuk mendatangkan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia, karena semakin sulit untuk mendatangkan pertumbuhan ekonomi tinggi akibat praktik pemerintahan yang semakin koruptif dan politis.
Kue ekonomi strategis hanya dikuasai oleh jejaring ekonomi yang bersedia memenuhi keinginan politik para elite kekuasaan.
Sehingga penikmat utama kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan sudah bukan lagi rakyat banyak, tapi justru para anggota jejaring ekonomi politik yang menopang kekuasaan, mulai dari daerah sampai ke level nasional.
Walhasil, tingkat pertumbuhan kekayaan dan pendapatan orang kaya meroket alias bergerak jauh lebih cepat dibanding dengan tingkat pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Menurut Thomas Piketty di dalam bukunya yang mendapatkan hadiah Nobel beberapa tahun lalu, “Capital in Twenty-First Century”, persis dalam kondisi seperti itulah ketimpangan ekonomi akan semakin menjadi-jadi dan semakin mekar.
Kemudian dari sisi politik, sebagaimana telah kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, kekuasaan semakin terpersonalisasi di tangan satu pihak dan satu keluarga.
Para politisi dan elite politik di negeri ini semakin menikmati narasi kekuasaan “tunggal” yang dicantelkan kepada satu keluarga di Istana.
Sehingga publik dipaksa untuk memaklumi kehadiran dinasti politik baru di dalam sistem politik nasional Indonesia, yang telah direkayasa sedemikian rupa sebelumnya.
Kehadiran dinasti politik baru tersebut dimaksudkan menjadi tameng bagi keberlanjutan dinasti politik lainnya di negeri ini di satu sisi dan untuk menjamin keberlanjutan praktik-praktik ekonomi politik oligarkis yang telah memperburuk angka rasio gini di sisi lain.
Relasi kuasa yang demikian jelas-jelas sudah bukan lagi berada di dalam ranah cita-cita Reformasi yang disuarakan 26 tahun lalu oleh para elite yang justru saat ini sedang bercengkerama dengan kekuasaan.
Lihat saja, Joko Widodo yang namanya sejatinya tak dikenal di dalam radar Reformasi, baik secara historis maupun secara naratif, kini bersekutu dengan presiden terpilih yang justru memiliki rekam jejak kurang baik di dalam perjuangan Reformasi.