JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Anies Baswedan yang ingin rehat selepas menjadi salah satu peserta dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendapat tanggapan dari pakar hukum tata negara Refly Harun.
Refly yang menjadi bagian dari tim hukum pasangan calon Anies-Muhaimin Iskandar nampaknya tidak sepakat dengan pernyataan mantan capres.
Sementara itu, opini mengenai persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai revisi Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara juga menjadi sorotan para pembaca.
Baca juga: Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi King Maker
Pakar Hukum Tata Negara yang menjadi bagian Tim Hukum Anies-Muhaimin, Refly Harun, mengomentari sikap Anies yang ingin rehat usai Pilpres 2024.
Menurut Refly, sebagai pemimpin gerakan perubahan yang memperjuangkan pemikiran, Anies tidak bisa rehat sementara waktu.
"Jadi orang mengkritik masak pemimpin perubahan kok rehat dulu, enggak ada rehatnya. Enggak boleh rehat, yang namanya kecuali nyawa sudah tidak lagi dikandung badan," kata Refly dalam acara GASPOL! Kompas.com, dikutip pada Sabtu (18/5/2024).
Baca juga: Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan
Refly beranggapan, Anies justru memiliki kepentingan untuk mengidentifikasi jumlah pendukungnya secara jelas usai dua parpol pengusung bergabung dengan pemerintahan.
Selama ini, kata Refly, pendukung Anies juga berasal dari kalangan parpol. Namun, ketika partai politik memutuskan bergabung dengan lawan, pihak dari kalangan parpol pun akan mengikuti.
Oleh karenanya, Anies perlu mengidentifikasi suara pendukung di luar jaringan parpol.
"Mayoritas pendukung Anies dan Cak Imin silent majority. Satu dua tiga empat orang saja yang vokal, tapi setelah itu kita lihat mereka vokal dari mana? Oh ternyata belongs to partai politik. Dicoret mereka, karena mereka akan mengikuti gerak parpol," ucap dua.
Baca juga: Soal Peluang Usung Anies di Pilkada, PDI-P: Calon dari PKS Sebenarnya Lebih Menjual
Pasca-Pilpres 2024, ada kebutuhan untuk menambah pos kementerian. Ada alasan untuk menghadapi tantangan global. Ada alasan butuh akomodasi.
UU Kementerian Negara diubah oleh DPR. Jumlah maksimal kementerian sebanyak 34 pos dihilangkan dan diserahkan kepada presiden.
Mudah-mudahan UU Kementerian Negara yang direvisi memuat aturan keras soal perampasan aset bagi menteri korup.
Memperkuat peran dan fungsi inspektorat kementerian yang mandul, menghadirkan pengawasan eksternal untuk mengawasi perilaku birokrasi kementerian. Pada wilayah lain, UU MK direvisi.
Baca juga: Istana Disebut Belum Terima Draf Revisi UU Kementerian Negara
Hakim konstitusi yang sudah menjabat lima tahun dan belum sepuluh tahun, dimintakan konfirmasi kepada lembaga pengusul. Tampak sekali, pasal itu diarahkan untuk hakim-hakim tertentu, hakim berintegritas yang berani berbeda dengan DPR dan Presiden.