KEJENGKELAN publik belum reda menonton, bagaimana bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperlakukan kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaan seakan menjadi wilayah domestik, wilayah keluarga.
Dari panggung persidangan terungkap bagaimana keluarga SYL memanfaatkan jabatan untuk mendapat keuntungan pribadi dan keluarganya.
Pembelian kacamata, perawatan kulit, renovasi rumah, sunatan anak, membayar pembantu serta pengeluaran lainnya seakan menjadi tanggungan Kementerian Pertanian.
Politisi Partai Nasdem itu mengaku tidak mengetahui pengeluaran tersebut. Bahkan, ia menjanjikan akan menggunakan panggung pleidoi untuk penyampaian pembelaan. Publik menunggu.
“Power is privilege,” ujar Sukidi Mulyadi, PhD dalam siniar dengan saya. Lulusan Harvard University ini mengatakan, kekuasaan yang dimiliki SYL telah disalahartikan justru untuk kepentingan keluarganya.
Kultur feodal tampaknya masih menyelimuti negeri ini. Feodal dalam artinya tidak bisa dibedakan antara yours and mine (milikmu dan milikku).
Kekuasaan yang sejatinya untuk rakyat sebagaimana dikatakan Sultan Hamengkuwono IX, Tahta untuk Rakyat, telah disalahartikan: kekuasaan untuk keluarga, untuk kelompok dan golongannya.
Praktik nepotisme yang jadi musuh Orde Baru kini seperti menjadi lazim dalam praktik kekuasaan, akhir-akhir ini. Budaya malu lenyap dalam praksis politik yang sangat transaksional.
Pengawasan inspektorat jenderal mandul dan gagal mendeteksi penyimpangan sang menteri. Pengawasan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ternyata bisa dipesan dan ada tarifnya. Pengawasan politik di DPR pun sami mawon.
“Hukum telah menjadi industri,” ujar mantan Menko Polhukam Mahfud MD.
Arah politik hukum bangsa kian mengarah pada sentralisasi kekuasaan. Apa yang diinginkan kekuasaan bisa diwujudkan.
Ada tiga jalan yang bisa ditempuh yang semuanya konstitusional. Jalan menguji pasal ke Mahkamah Konstitusi, jalan merevisi undang-undang lewat DPR, jalan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Beberapa contoh politik kontemporer bisa dilihat. Misalnya, masa jabatan Pimpinan KPK ditetapkan empat tahun. Namun, ada pimpinan yang menghendaki lima tahun.
Wakil Ketua KPK Nurul Gufron menguji materi ke MK. Dan, MK mengabulkan perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK menjadi lima tahun.
Pimpinan KPK yang seharusnya mengakhiri jabatannya Desember 2023, diperpanjang sampai Desember 2024.