JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal menduga bahwa narasi yang dibangun mengenai rekonsiliasi partai politik usai pemilihan presiden (Pilpres) 2024 sengaja dibuat oleh elite politik pendukung pemerintah calon presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Namun, menurut dia, narasi itu tidak begitu penting dipandang oleh masyarakat.
"Saya berkeliling ke masyarakat biasa. Biasa nih. Masyarakat biasa yang sehari-hari ya. Ya, besok yang mana ini memilih, besoknya saya tetap kerja gitu. Tidak ada masalah, Bapak-Ibu. Sekarang soal 01, 02, 03," kata Nicky dalam paparannya di acara "Dialog Kebangsaan: Semangat Keindonesiaan Pasca Pemilu, Harapan dan Tantangan" di Jakarta Timur, Senin (29/4/2024).
"Tapi kenapa hari ini di media massa, itu sering kita lihat rekonsiliasi nasional. Ini penyembuhan nasional. Atau persatuan nasional. Jangan-jangan ini narasi elite? Masyarakat kita lebih cerdas untuk hal ini," ujar dia lagi.
Baca juga: Prabowo Terus Upayakan Rekonsiliasi
Menurut Nicky, wajar saja jika elite pendukung Prabowo-Gibran menarasikan demikian.
Sebab, pemerintahan Prabowo-Gibran disebut memerlukan 71 persen suara di DPR untuk menjamin stabilitas politik ke depan.
"Sehingga (dengan dukungan partai politik) program-program bisa jalan," kata Nicky.
"Kalau itu memang narasi elite, ya, sah-sah saja dia mau ngomong seperti itu. Tapi, kalau di bawah, kita semua sudah biasa berbeda," ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Nicky menyebut bahwa masyarakat sudah terbiasa dalam perbedaan politik. Dia mencontohkan bagaimana masyarakat dihadapkan pada ancaman polarisasi di Pilpres 2014 dan 2019.
Namun, pada Pilpres 2024, masyarakat disebut sudah mulai terdidik bahwa politik yang memanas saat kontestasi pemilu adalah hal biasa.
"Namanya juga demokrasi. Demokrasi pasti bising, teman-teman sekalian. Pasti bising. Enggak ada yang enggak bising. Maka di situ dibutuhkan pendidikan politik dan keutamaan. Untuk apa? Supaya kebisingan itu, itu bisa dikelola. Bukan diredam," katanya.
Baca juga: Soal Narasi Tak Ada Oposisi di Pemerintahan Prabowo, Romo Magnis Singgung agar Tak Diganggu DPR
Hanya saja, menurut Nicky, jika kebisingan politik diredam maka membahayakan bagi demokrasi ke depan.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintahan ke depan tetap mengutamakan kebebasan berpendapat di masyarakat.
"Ini yang berbahaya apabila kebisingan demokrasi itu diredam. Ini, apa yang ke depan terjadi, kita enggak tahu. Tapi yang jelas, ketika demokrasi itu kebisingan yang diredam, tanda-tanda bahaya. Karena ya, kita mempertahankan kebebasan pendapat. Seperti itu," ujarnya.
Baca juga: Prabowo-Gibran Dinilai Akan Rekonsiliasi Politik untuk Amankan Dukungan di Parlemen
Diberitakan sebelumnya, kubu calon presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran terus berupaya merajut rekonsiliasi politik dengan kelompok politik di luar partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, upaya itu dijajaki Prabowo karena belajar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengajaknya bergabung ke pemerintahan setelah Pilpres 2019.
Rekonsiliasi itu pula yang disebut menjadi pembahasan Prabowo saat bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta pada 11 April 2024.
"Terutama bagaimana memupuk negara efektif, rapat-rapat yang efektif dengan para elite dan Pak Jokowi itu kan orang yang care," ujar Habiburokhman di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, belum lama ini.
"Oleh karena itu, Pak Prabowo ini kan setengah peralihan setelah putusan MK (Mahkamah Konstitusi), kita harus jalan kencang. Kami enggak mau buang waktu, kurang lebih saya tangkap begitu,” katanya lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.