Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dissenting Opinion", Hakim Arief Nilai Mahkamah Etika Nasional Perlu untuk Tangani "Cawe-cawe" Presiden

Kompas.com - 23/04/2024, 10:43 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Arief memberikan catatan khusus perihal penyelenggaraan pilpres, di antaranya, mengusulkan pembentukan “Mahkamah Etika Nasional”.

Menurut Arief, keberadaan lembaga ini penting untuk menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Presiden dalam masa pemilu.

“Pelaksanaan rule of ethics perlu ditegakkan oleh suatu Mahkamah Etika Nasional, sehingga penyimpangan etika dalam penyelenggaraan negara dapat dihindari, khususnya cawe-cawe Presiden dalam pemilu di masa yang akan datang,” kata Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).

Menurut Arief, tindakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terang-terangan mendukung pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, bukan hanya bentuk abuse of power, tetapi juga abuse of ethics.

Baca juga: Respons Putusan MK, Jokowi: Saatnya Kita Bersatu, Bekerja, Membangun Negara

Padahal, Arief mengatakan, seluruh penyelenggara negara wajib tunduk pada nilai etika luhur yang terdapat dalam Pancasila.

Dia bilang, Pancasila tidak hanya sekadar menjadi cita hukum (rechtside) dalam pembentukan hukum nasional, tetapi juga harus menjadi cita etik (etchisside) yang menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak. Bukan hanya bagi Presiden dan infrastruktur politiknya, tetapi juga seluruh warga negara.

“Sebab, negara kita ini tidak hanya harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip rule of law, tetapi juga rule of ethics,” ujar Arief.

Selain Mahkamah Etika Nasional, Arief juga mengusulkan supaya desain hukum pemilu diubah, khususnya terkait waktu penyelesaian perselisihan hasil pemilu (PHPU).

Menurutnya, waktu penyelesaian PHPU perlu ditambah tidak hanya 14 hari dengan mempertimbangkan ruang lingkup wilayah sengketa yang meliputi wilayah Indonesia.

“Sehingga didapat waktu penyelesaian yang rasional dan proporsional dengan mengingat adanya waktu pemilihan presiden putaran kedua dan waktu jadwal ketatanegaraan pada bulan Oktober,” kata Arief.

Terakhir, Arief mengusulkan agar dibuat Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.

Adapun dalam dissenting opinion ini, Arief berpendapat, MK mestinya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menggelar pemungutan suara ulang di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan sengketa Pilpres 2024 yang dibacakan dalam persidangan yang digelar Senin (22/4/2024), MK menolak gugatan pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar; dan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo.

Baca juga: 5 Poin Penting Putusan MK yang Tolak Gugatan Sengketa Pilpres Ganjar dan Anies

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com