JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyatakan setiap warga Indonesia yang bekerja di luar negeri, termasuk magang, harus tercatat pada sistem komputerisasi (Sisko) lembaga itu buat memudahkan pengawasan dan pelindungan.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani menyampaikan hal itu terkait 1.047 mahasiswa Indonesia yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang di Jerman.
"Artinya kalau tidak ada namanya bagaimana negara bisa memberikan perlindungan secara utuh," kata Benny di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/3/2024), seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Baca juga: 1.047 Mahasiswa Korban Magang di Jerman Tak Tercatat di BP2MI
Menurut Benny, nama-nama para mahasiswa peserta magang di Jerman itu tidak tercatat dalam sistem BP2MI.
BP2MI, kata Benny, menyerahkan penyelidikan kasus itu Polri. Dia berharap kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari.
"Artinya karena ada kasus, baru diketahui. Persoalan TPPO atau bukan serahkan ke Bareskrim yang melakukan penyelidikan," ucap Benny.
Baca juga: 33 Kampus Kirim Mahasiswa Magang ke Jerman Tak Izin dengan Kementerian
Sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (ferienjob) pada Oktober sampai Desember 2023.
Pihak kepolisian kini tengah mendalami dan memeriksa sejumlah pihak terkait kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ini.
"Polri akan meminta keterangan dan kami bekerja sama dengan semua pihak terkait termasuk Kemendikbud," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, seperti dilansir Antara, Jumat (22/3/2024).
Trunoyudo membeberkan, kasus TPPO berkedok program magang di Jerman ini terungkap setelah empat mahasiswa yang sedang mengikuti ferienjob (kerja paruh waktu untuk mahasiswa) mendatangi KBRI Jerman.
Baca juga: TPPO Modus Magang di Jerman, Komnas HAM Soroti Fungsi Pengawasan Kemendikbud Ristek
Setelah ditelusuri KBRI, program ini dijalankan sebanyak 33 universitas di Indonesia dengan total mahasiswa yang diberangkatkan sebanyak 1.047 mahasiswa.
"Namun, mahasiswa tersebut dipekerjakan secara non-prosedural sehingga mahasiswa tersebut tereksploitasi," kata Trunoyudo.
Awalnya, para mahasiswa mendapatkan sosialisasi dari PT CVGEN dan PT SHB terkait program magang di Jerman.
Saat mendaftar mahasiswa diminta membayar biaya sebesar Rp 150.000 ke rekening PT CVGEN, serta membayar sebesar 150 euro (sekitar Rp 2,5 juta) untuk pembuatan letter of acceptance (LOA) kepada PT SHB.
Setelah LOA terbit, korban harus membayar sebesar 200 euro (sekitar Rp 3,4 juta) lagi kepada PT SHB untuk pembuatan surat persetujuan (approval) otoritas Jerman atau working permit.
Baca juga: Soal Mahasiswa Magang di Jerman, Menko PMK: Bagus, asal Diatur dan Dilembagakan
Mahasiswa juga dibebankan dana talangan sebesar Rp 30 juta-Rp 50 juta di mana pengembalian dana tersebut dengan cara pemotongan upah kerja tiap bulan.
Selain itu, setelah mahasiswa sampai di Jerman langsung disodorkan surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit (izin kerja) untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman.
Mahasiswa yang menjadi korban melaksanakan ferienjob dalam kurun waktu selama tiga bulan dari Oktober hingga Desember 2023.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.