Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Akhir Pertarungan Rezim Ambang Batas Parlemen di MK

Kompas.com - 25/03/2024, 05:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah mengetok palu menetapkan hasil Pemilu Presiden dan Legislatif (20/03/2024), dengan segala riuh-riak pro dan kontra yang menyertainya.

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) sudah dilayangkan, menyoal beragam penyimpangan dan/atau pelanggaran yang terjadi selama Pemilu.

Semua fokus pada upaya untuk memperoleh pengakuan, dan jika dimungkinkan meraih kemenangan atas kasus yang diajukan dengan dalih “mencederai demokrasi”.

Cedera demokrasi, sesungguhnya bukan hanya soal adanya praktik penyimpangan atau pelanggaran pemilu. Suara rakyat yang hangus atau tidak terkonversi menjadi “kursi” di parlemen (DPR) karena tidak memenuhi ambang batas perolehan suara parlemen (parliamentary threshold) pun mencederai demokrasi, mencederai kedaulatan rakyat.

Namun hal ini tampak samar atau mungkin tenggelam dalam riuh-riak perdebatan pascapemilu.

Historisnya, ketentuan parliamentary threshold pertama kali digunakan pada pemilu 2009, menggantikan istilah electoral threshold yang digunakan pada pemilu sebelumnya.

Dalam Undang-Undang (UU) No. 7/2017 yang kemudian diubah dengan UU No. 7/2023, Pasal 414 Ayat (1) ambang batas parlemen ditetapkan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional.

Jika parpol tidak memenuhi syarat ambang batas tersebut, maka parpol tersebut tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Dengan demikian, calon anggota legislatif (DPR) dari parpol tersebut juga tidak bisa lolos dan ditetapkan sebagai anggota DPR (Pasal 415 Ayat (1)).

Parliamentary threshold dan penyederhanaan partai

Sejak 2009 itu pula, tercatat sebanyak 7 (tujuh) kali perkara pengujian terhadap UU (PUU) Pemilu di Mahkamah. Dari tujuh PUU tersebut, enam PUU dinyatakan “ditolak” seluruhnya atau sebagian, dan/atau tidak dapat diterima dengan beragam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah.

Argumen hukum penerapan ambang batas parlemen yang dibangun di dalam UU Pemilu dan disepakati oleh Mahkamah dalam sejumlah pertimbangan hukumnya, selalu dikaitkan dengan konsep “penyederhanaan sistem kepartaian” dan “proporsionalitas hasil pemilu”.

Bahwa penetapan ambang batas merupakan instrumen hukum dan politik untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen, sehingga terwujud kondisi politik nasional yang stabil.

Dengan catatan, selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas, hal tersebut menurut Mahkamah adalah konstitusional.

Kebijakan ambang batas parlemen dalam sistem politik multipartai Indonesia tidak melanggar konstitusi, karena kebijakan tersebut tetap memberikan kesempatan luas dan terbuka kepada setiap warga negara untuk membentuk parpol.

Karenanya, bagi Mahkamah, kebijakan tersebut dibolehkan oleh konstitusi sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang terkait politik penyederhanaan kepartaian, dan penguatan sistem presidensial yang lebih kuat, efektif, dan stabil.

Penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen diyakini tidak bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia terutama hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Nasional
Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Nasional
Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Nasional
Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Anies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Nasional
PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

Nasional
Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Nasional
Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran ibarat Pisau Bermata Dua

Nasional
Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Nasional
Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P dalam Periode Kedua Jokowi

Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P dalam Periode Kedua Jokowi

Nasional
Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasional
Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Nasional
Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com