Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
SETIAP membaca puisi “Orang-Orang Miskin” karya WS Rendra, ingatan saya selalu teringat dengan kehidupan di masa kecil dulu. Di Malang, Jawa Timur, tahun 1970-an saat zaman dibilang Orde Baru tetapi hidup tidak ada yang “baru”.
Ayah yang serdadu berpangkat rendah dan kakek polisi berpangkat minim, hanya bisa hidup dengan sederhana. Ibu dan nenek selalu mengakali cara memasak sebutir telur dengan tepung terigu berlimpah agar kami sekeluarga bisa makan.
Mandi dengan sabun berwarna hijau yang keras, kami namakan sabun kodok. Bisa untuk mandi, sekaligus keramas dan berfungsi juga untuk cuci baju. Makan beras dengan kutu yang berlimpah, hasil rangsum ayah sebagai serdadu Angkatan Darat.
Melihat siaran televisi dengan menonton massal di tetangga sebelah, adalah hiburan yang mewah. Walau isi siarannya selalu “menghebat-hebatkan” Soeharto, terpaksa kami telan dengan logika bocah yang haus pengetahuan.
Soal beras, harga memamg sulit terjangkau, tetapi di warung kelontong di dekat rumah saya di Jalan Batok, Malang selalu ada. Bahkan kiat untuk berhemat beras pun, bisa diakali dengan mencampurkan butiran jagung ke dalam beras. Namanya beras jagung, enak juga rasanya.
Mengalami era dominasi Golkar yang dipaksakan menang di setiap Pemilu, zaman semua orang dipaksa mengelu-elukan Bapak Pembangunan Nasional dan era ketika semua hajat ekonomi orang banyak dikuasai anak-anak Presiden.
Menjadi kaget ketika generasi Z dan sebagian milenial sekarang begitu memuja-muja zaman susah di era Soeharto. Mereka tidak mengalami mata perih karena gas air mata saat berada di lautan aksi unjuk rasa. Mereka tidak mengalami menyaksikan jalannya negara dikuasai oleh “orang dalam”.
Harapan akan terjadinya perubahan begitu tersemat dalam-dalam begitu melihat balihonya terpajang besar di jalan-jalan protokol. Dirinya bertekad akan menjadi pemimpin di negeri dan berharap rakyat mendukungnya.