The office of the scholar is to cheer, to raise, and to guide men by showing them facts amidst appearances. He plies the slow, unhonored, and unpaid task of observation. He is the world's eye - Ralph Waldo Emerson.
KEKHAWATIRAN dan keprihatinan kalangan intelektual dan kalangan kampus semestinya tidak dipolitisasi dan dikaitkan dengan kontestasi politik yang sedang berlangsung.
Keprihatinan semacam itu tidak lahir dari kehampaan, tapi dari pengamatan jernih dan kritis atas perkembangan yang terjadi belakangan, terutama soal dinamika kekuasaan yang sudah mulai kurang menghormati prinsip-prinsip moral dan etika politik.
Pengamatan tersebut adalah tanggung jawab kalangan "scholar" dan terdidik dalam kapasitasnya sebagai "mata dunia" atau "world's eye", sebagaimana disebutkan oleh Ralph Waldo Emerson di atas.
Nyatanya, pernyataan para intelektual kampus tidak muluk-muluk, hanya sebatas "notifikasi" kepada penguasa dan jejaring kekuasaan yang menopangnya untuk "bermain" berdasarkan kaidah-kaidah yang juga berlaku secara universal di banyak tempat dan tidak menggunakan "instrumen-instrumen" yang tidak biasa dipakai di dalam permainan elektoral selama ini.
Dengan kata lain, penguasa dan para "minion" kekuasaan tidak perlu merasa gerah, apalagi merasa menjadi pihak yang paling terhakimi.
Publik justru sudah sangat memahami bahwa penguasa dan jejaring kekuasaan penopangnya memang telah mempertontonkan "cara main" yang tidak berpreseden di Indonesia.
Dalam hemat saya, semestinya penguasa dan para elite ekonomi politik yang menopangnya justru berterima kasih karena di Indonesia mekanisme kontrol publik masih berjalan dengan sangat baik, sekalipun secara parlementer sudah sangat minim kekuatan oposisi yang berani secara terang-terangan mengontrol pemerintah.
Munculnya gerakan moral intelektual dari berbagai kampus membuktikan bahwa kesadaran reformasi masih melekat kuat di kalangan intelektual negeri ini.
Karena itu, kekuasaan memang semestinya tidak menafikan "raison d’etre" reformasi, dengan selalu menjunjung tinggi spirit anti-KKN dan antiotoritarianisme, sembari memosisikan kalangan intelektual kampus sebagai salah satu penopang gerakan reformasi.
Itulah satu-satunya jalan terbaik bagi kekuasaan untuk tidak tersapu oleh Gerakan Reformasi jilid II, yang menurut saya, akan bergaung kencang, jika penguasa dan jejarang elite yang menopangnya, tidak mengindahkan seruan moral dari kalangan intelektual kampus ini.
Saya yakin, pergerakan mahasiswa yang sempat berlangsung secara sporadis masif baru-baru ini hanya sekelumit sinyal yang memberi pesan kepada kekuasaan bahwa kalangan intelektual kampus bukanlah kelompok hampa kekuatan nyata.
Kekuatan tersebut bisa dalam sekejap menemukan bentuk nyatanya, jika penguasa tidak berhasil menunjukkan sikap responsif dan apresiatif atas seruan moral intelektual dari kampus.
Selain itu, reaksi penguasa yang cenderung memandang sinis, bahkan negatif dan politis, atas seruan moral dari kalangan intelektual kampus secara langsung memosisikan kekuasaan pada posisi yang kurang bersahabat dengan intelektualitas, bahkan boleh jadi berada pada posisi anti-intelektualitas.
Pada posisi ini, saya khawatir, istilah yang sering disematkan oleh seorang Rocky Gerung kepada penguasa selama ini, justru akan mendapatkan relevansinya saat ini.