PERAYAAN Ulang Tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-51 dirayakan secara sederhana. Bukan di gelanggang besar dan mentereng, tapi di Sekolah PDIP di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dengan jumlah peserta yang juga tak terbilang banyak.
Artinya, tidak ada pertunjukan kekuatan politik besar-besaran kali ini, seperti saat PDIP masih memiliki hubungan mesra dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Dengan kata lain, perayaan Ulang Tahun Partai berlogo Banteng Moncong Putih kali ini tak seperti ulang tahun partai pemenang pemilu yang memiliki raihan suara terbanyak pada dua pemilu terakhir masing-masing pada 2014 maupun 2019.
Kesan tersebut semakin terasa jika dikaitkan dengan tema acara yang diangkat oleh PDIP, yakni Satyam Eva Jayate. Artinya, kebenaran pasti menang.
Terkesan agak berbeda dan aneh memang. Tema yang dipilih terkesan bukan lagi sebagai tema yang menggambarkan PDIP sebagai partai besar dan partai pemenang.
Jika ditelisik dari posisi politik PDIP dikaitkan dengan prestasi elektoralnya pada pemilihan umum terakhir, justru tema tersebut terasa lebih kental nuansa kekecewaan, ketimbang nuansa kebesaran dari partai besar yang sedang berkuasa.
Pasalnya, sejatinya acara-acara besar partai pemenang biasanya bertemakan agenda besar ke depan, bukan lagi bicara pembuktian posisi politik.
Hanya partai yang belum mendapatkan status kemenangan yang biasanya bicara penegasan posisi politik partainya, yang secara fungsional diniatkan untuk menggugah hati pemilih bahwa partainya layak untuk menjadi pemenang di pemilihan selanjutnya.
Namun nyatanya tidak demikian. PDIP, melalui tema yang diambilnya di hari ulang tahun ke 51 ini, kembali menegaskan posisi politiknya alias kembali ke hal-hal mendasar, untuk menjelaskan dirinya sebagai partai yang benar secara prinsipil, tapi kebenaran tersebut ternyata belum dimenangkan, meski status partai pemenang sudah dikantongi sejak sepuluh tahun lalu.
Pertanyaannya kemudian, mengapa PDIP mengambil tema tersebut? Dan mengapa dalam pidatonya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri justru lebih banyak meradang ketimbang mengglorifikasi status partainya sebagai pemenang?
Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut nampaknya ada pada pergeseran model relasi politik PDIP dengan penguasa Istana, yang notabene adalah kader PDIP yang dipercaya dan diusung untuk maju sebagai calon presiden di pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.
Relasi yang sejatinya telah membuat PDIP merasa bangga dan membusungkan dada selama sembilan tahun terakhir ternyata berakhir kurang manis menjelang tahun ke sepuluh alias tahun terakhir berkuasanya sang ‘petugas partai’.
Memburuknya relasi tersebut bisa terjadi karena secara tak disangka-sangka ternyata sang presiden memilih untuk tidak lagi bersama PDIP di laga berikutnya.
Apapun alasan di balik berbalik arahnya model relasi kedua pihak, yang sebenarnya secara kasat mata telah diketahui publik sebabnya, nyatanya perubahan tersebut ikut mengubah kemesraan politik kedua pihak menjadi rivalitas elektoral menjelang laga Pilpres 2024 mendatang, rivalitas yang nyaris tak pernah dibayangkan oleh publik selama ini.
Seterheran-herannya publik menyaksikan perubahan sikap politik dan manuver politik Presiden Jokowi sejak tahun lalu.
Tak pernah dibayangkan karena nyatanya Jokowi secara defacto memilih pihak yang selama dua kali pemilihan presiden menjadi lawannya di satu sisi dan menjadi lawan PDIP juga di sisi lain.
Relasi politik menjadi sulit karena pada pemilihan mendatang dan karena status PDIP sebagai partai pemenang di dua pemilihan sebelumnya, membuat PDIP tidak mungkin untuk berkoalisi dengan pihak yang dipilih oleh Jokowi saat ini sebagai mitra strategisnya.
Di sinilah komplikasinya dimulai. Jokowi mendukung, bahkan boleh jadi ikut mendorong anaknya berpasangan dengan Prabowo.