Sementara PDIP tak mungkin ikut mendukung keputusan dan pilihan tersebut, karena PDIP sudah lebih dahulu mengumumkan calon sendiri, yang tak mungkin dinegosiasikan lagi posisinya. Di sinilah awal mula kemesraan berubah menjadi rivalitas.
Imbas tidak saja sampai pada perubahan model relasi politik, tapi juga pada "kesan" status pemenang yang disandang oleh PDIP. Sekalipun secara faktual tercatat di Komisi Pemilihan Umum ( KPU) bahwa PDIP adalah partai pemenang di pemilihan terakhir, kesan sebagai partai pemenang serta merta pudar di mata publik karena simbol kemenangan tersebut justru tidak lagi bersama PDIP.
Artinya, mahkota kemenangan PDIP terkesan direnggut oleh Jokowi, yang membuat PDIP menyandang status partai pemenang hanya di dalam angka, tapi tidak lagi bermahkota di kepalanya.
Angka itu pun kini tak lagi sempurna, karena kembali angka raihan partai semata, yang secara nominal hanya 20 persenan.
Tentu jauh berbeda jika angka tersebut dikaitkan kepada Jokowi yang menjadi pemenang Pilpres 2019 lalu, yang meraih angka nominal lebih dari 50 persen.
Secara simbolis matematis, PDIP kehilangan banyak angka, yang secara simbolis pula membuatnya menjadi partai biasa, layaknya partai lainnya, di tahun kesepuluh Presiden Jokowi berkuasa.
Jadi kesempurnaan status partai pemenang pemilu memang berada pada Jokowi, yang selama ini secara simbolik mengesankan bahwa PDIP dan Jokowi menguasai lapangan elektoral lebih dari 50 persen.
Sekalipun ada suara partai koalisi di sana, tapi "kesan"-nya kemenangan itu adalah milik PDIP dan mahkotanya ada di kepala Banteng, bukan di kepala partai politik lain.
Lantas ketika mahkota tersebut direnggut oleh Jokowi dan dibagi-bagi kepada beberapa partai koalisi yang menjadi rival politik PDIP, maka otomatis PDIP menjadi partai pemenang yang tak bermahkota dan boleh jadi juga tak bertenaga sekuat dahulu.
Mengapa? Karena mahkota adalah simbol kekuasaan. Ketika mahkota PDIP direnggut oleh Jokowi, maka sebagian tenaga dan kuasa PDIP secara elektoral ikut terbawa bersamanya.
Dan di dalam acara perayaan ulang tahun PDIP ke 51 bisa dilihat dengan sangat jelas bahwa mahkota itu sudah tak bersama PDIP lagi.
PDIP boleh saja berdalih bahwa PDIP sengaja tak mengundang Jokowi karena menghormati jadwal kenegaraan sang presiden.
Namun publik dengan mudah bisa melihat dan menilai bahwa relasi antara PDIP dan Jokowi sudah tak seperti dulu lagi. Dengan kata lain, rivalitas Jokowi dan PDIP memang sudah tidak bisa disembunyikan lagi.
Meskipun tidak pernah mendapatkan surat pemecatan, yang berarti bahwa Jokowi sesungguhnya masih kader PDIP, rivalitas sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tepatnya sejak Gibran Rakabuming Raka, diumumkan sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Dengan konstelasi yang demikian, sangat wajar kiranya isi pidato Megawati tidak lagi berupa glorifikasi status PDIP sebagai partai pemenang, tapi lebih kepada penegasan posisi politik PDIP sebagai partai yang berada pada "track" yang benar, tapi justru telah dizalimi dan direnggut mahkotanya oleh kadernya sendiri, yaitu Joko Widodo.
Memang dalam pidatonya Megawati tidak merujuk langsung ke nama Jokowi. Tapi publik bisa menilai dengan mudah bahwa gelora keresahan dan kekecewaan yang muncul dari pidato Megawati Soekarnoputri, baik atas kondisi partainya maupun atas prospek demokrasi Indonesia ke depan, terkait langsung dengan sepak terjang Jokowi dalam beberapa bulan terakhir.
Jadi perayaan ulang tahun PDIP kali ini menjadi perayaan penegasan bahwa memang secara simbolik PDIP tidak lagi bermahkota dan tak lagi bersama Jokowi. Namun yang jelas, PDIP masih bersama rakyat, sang pemegang hak suara yang sesungguhnya.
Secara ideasional, tentu narasi yang diambil PDIP dan Megawati sudah sangat tepat. Tidak ada demokrasi dan partai politik tanpa rakyat. Dan tak ada kekuasaan yang abadi tanpa dukungan rakyat.