Kata-kata tersebut menjadi simbol yang tersimpan di balik pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang secara tak langsung ingin menyampaikan bahwa kini Jokowi tidak lagi memilih rakyat sebagai tempat untuk berpihak, tapi justru memilih kekuasaan sebagai tempat untuk mempertahankan diri agar mahkotanya bisa diwariskan secara tak demokratis.
Dan karena pidato itu pula, pujian Anies Baswedan kepada Megawati mendapatkan konteksnya, yakni sebagai tokoh yang konsisten terus menjaga demokrasi di negeri ini.
Megawati memang tokoh utama yang menolak wacana tiga periode presiden sekaligus menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang justru digaungkan di era kekuasaan Presiden Jokowi.
Lalu di tahun ke sepuluh kemesraan PDIP dan Jokowi, Megawati juga menolak tunduk kepada penguasa Istana, sekalipun risikonya harus merayakan ulang tahun secara sederhana karena kehilangan mahkota.
Terlepas apapun pandangan tentang Megawati Soekarnoputri selama ini, namun pada konteks ini Megawati, menurut saya, layak diapresiasi sebagai negarawan sejati.
Nah, dengan posisi politik yang diambil tersebut, prospek perolehan suara PDIP masih cukup bagus.
PDIP berpeluang mempertahankan statusnya sebagai partai pemenang pemilihan umum dengan raihan suara tertinggi dibanding dengan partai-partai lainnya, yakni sekitar 20-an persen, sebagaimana diungkap oleh survei-survei tentang elektabilitas parpol, beberapa waktu belakangan.
Masalahnya kini terletak pada prospek capres-cawapres yang didukung oleh PDIP dan beberapa partai anggota koalisi yang dipimpin oleh PDIP.
Sejak rivalitas mulai terjadi antara PDIP dan Jokowi, suara capres-cawapres dari PDIP mulai kehilangan superiotasnya di dalam survei-survei politik yang ada.
Posisi Ganjar Pranowo yang lama berada di urutan pertama terdepak. Pergeseran angkanya cukup signifikan, yang membuat capres dari PDIP tersebut harus bersaing habis-habis untuk posisi ke dua dengan capres nomor satu, agar bisa melanjutkan pertarungan di putaran kedua.
Yang jelas, dengan sebaran kekuatan politik hari ini, peluang untuk satu putaran sebagaimana diteriakkan oleh pasangan nomor 2, sangat kecil peluangnya.
Meskipun begitu, dilihat dari pergerakan elektabiltas dalam beberapa waktu belakangan, masih terdapat sedikit kemungkinan untuk itu.
Jadi PDIP dan pasangan capres-cawapres nomor tiga harus fokus kepada dua hal. Pertama mempersempit, bahkan jika dimungkinkan, mengeliminasi kemungkinan pemilihan satu putaran.
Kedua, memastikan agar pasangan calon nomor urut tiga masuk ke dalam putaran kedua tersebut.
Jika itu bisa dilakukan, maka peluang untuk mengambil kembali mahkota dari Jokowi akan terbuka sangat lebar.
Jika PDIP dan pasangan calon nomor urut tiga masuk putaran kedua, secara mayoritas suara pemilih properubahan dan antipemerintah berpeluang pindah ke pasangan nomor urut tiga, jika komunikasi politik tetap terjaga dengan gerbong politik yang mendukung paslon nomor urut satu, minimal dengan PKB dan Nasdem.
Dan dengan "political stance jalan tengah" dari pasangan nomor urut tiga, masa mengambang di putaran kedua berpeluang diraih dengan angka signifikan, selama narasi politik yang dimainkan tidak bergeser dari politik jalan tengah yang telah dimainkan Ganjar - Mahfud hari ini alias tidak bergeser ke posisi ekstrem kiri, karena itu akan memperkecil ceruk suara paslon nomor urut tiga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.