“PRAK..prak..prakk”. Botol-botol air mineral melayang di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA). Botol-botol itu mengarah pada perempuan dan anak-anak Rohingya.
Mereka merupakan bagian dari 135 orang pengungsi yang mendarat di Kabupaten Aceh Besar pada 10 Desember 2023 lalu.
Para pengungsi meminta ampun kepada mahasiswa gabungan dari beberapa kampus yang berdemonstrasi meminta mereka keluar dari Aceh. Tangis pecah tak terbendung.
Petugas Satpol PP dan kepolisian yang berjaga tak mampu menangani mahasiswa yang jumlahnya sekitar 500-an orang.
Akhirnya, mahasiswa berhasil memaksa para pengungsi keluar. Mereka pergi menuju Kantor Kemenkumham Aceh menggunakan truk yang sudah disediakan.
Menurut Koordinator Lapangan Aksi, Muhammad Khalis, penolakan mereka karena etnis Rohingya tidak lagi datang sebagai pengungsi, melainkan pencari kerja.
Dari sudut pandang mereka, etnis Rohingya tidak beretika dan berperilaku buruk. Apalagi, kebaikan masyarakat Aceh dalam menerima Rohingya seperti dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan penyelundupan manusia.
Pandangan Khalis setidaknya mewakili pandangan sebagian orang Indonesia hari ini, yang khawatir dengan keberadaan pengungsi Rohingya.
Ketika berita mengenai pengusiran Rohingya di atas tersebar melalui media sosial, sebagian warganet justru mendukung aksi barbarian itu.
Kekerasan terhadap Rohingya merupakan titik kulminasi dari disinformasi dan narasi kebencian yang sebelumnya beredar luas melalui kanal-kanal media sosial.
Belum ada komitmen dari pemerintah untuk mencegah dan menangani disinformasi maupun ujaran kebencian daring terhadap pengungsi. Pengungsi juga belum jadi kelompok rentan prioritas yang dilindungi, baik oleh negara maupun platform digital.
Sebelum gelombang disinformasi dan narasi kebencian melonjak pada Desember 2023 ini, pandangan masyarakat Indonesia terhadap pengungsi sebenarnya baik-baik saja.
Survei dari Resilience Development Initiative (2022) menunjukkan pada umumnya publik percaya bahwa pengungsi pergi ke negara transit untuk menghindari kekerasan. Bahkan, publik tidak keberatan bila dilakukan integrasi pengungsi ke dalam masyarakat.
Namun, survei yang sama juga mencatat beberapa tantangan seperti hambatan bahasa dan ketidakpahaman publik tentang krisis pengungsi global, termasuk apa yang terjadi di daerah asal pengungsi.
Persepsi ini seperti berubah 180 derajat setelah berita penolakan warga terhadap pengungsi di Tanah Rencong pada pertengahan November lalu mencuat. Menurut warga, penolakan dilakukan karena perilaku imigran merepotkan mereka.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), narasi kebencian terhadap Rohingya sudah dimulai sejak 21 November 2023. Saat itu, empat unggahan akun Instagram @UNinIndonesia mendapat serangan komentar kebencian tentang Rohingya.
Tercatat, dari 17.380 komentar mengenai Rohingya, 91 persen di antaranya merupakan komentar kebencian.
Drone Emprit melakukan pemantauan terhadap konten Rohingya di X pada 3-16 Desember 2023. Drone Emprit menemukan isu Rohingya lebih ramai dibahas di media sosial ketimbang media massa. Selama medio itu, terdapat 130.824 mention dan retweet dengan kata kunci “rohingya”.
Dari jumlah tersebut, 33 persen di antaranya merupakan percakapan negatif. Percakapan negatif ini didominasi perbandingan nasib pengungsi Rohingya dengan masyarakat Indonesia yang tidak diperhatikan pemerintah dan perilaku-perilaku buruk pengungsi Rohingya.
Sementara itu, di platform TikTok, disinformasi banyak disebarkan oleh akun-akun yang mengimpersonasi UNHCR Indonesia, yaitu badan PBB yang bertanggung jawab menangani pengungsi.
Berdasarkan pantauan penulis, jumlah akun palsu itu mencapai 107 akun. Indikatornya adalah akun tersebut menggunakan nama profil/nama pengguna “UNHCR Indonesia” dan menggunakan logo UNHCR sebagai foto profil.
Salah satu akun, @unhcrofficialindonesia bahkan memiliki pengikut lebih dari 100.000 orang dan suka lebih dari 710.000 orang. Jumlah itu jauh lebih banyak dari akun asli @unhcrindonesia yang hanya memiliki 23.000 pengikut dengan lebih dari 56.000 suka.
Kemunculan akun-akun palsu ini memicu beredarnya gangguan informasi di masyarakat. Penggunaan nama dan logo UNHCR membuat banyak orang percaya bahwa pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh akun-akun palsu itu adalah pernyataan resmi UNHCR Indonesia.