SESUATU yang menarik pascadebat pilpres, baik pada debat perdana yang diikuti capres maupun debat kedua, yang mempertemukan cawapres, adalah fenomena glorifikasi hasil debat.
Seakan-akan debat pilpres yang diagendakan KPU menjadi ukuran satu-satunya untuk menilai kapasitas kandidat pilpres. Sehingga rekam jejak pada banyak forum sebelumnya, yang saat ini dapat mudah diakses lewat platform media digital, dikesampingkan.
Boleh saja debat pilpres versi KPU dijadikan sebagai parameter utama penilaian, andaikan format debatnya memang dirancang untuk benar-benar menguji dan menggali otentifikasi dan kemampuan para kandidat, seperti pada debat pilpres ala Amerika Serikat (AS).
Bukan sebaliknya seperti lomba cerdas-cermat yang bisa dimenangkan oleh para penghafal kunci jawaban. Sehingga debat pilpres yang semestinya menjadi wahana adu argumentasi justru terdistorsi oleh aspek teknis prosedural yang kaku dan tidak luwes.
Bahkan untuk sekadar menanyakan maksud atau istilah yang digunakan lawan debat dalam mengajukan pertanyaan pun tidak diperkenankan.
Dengan durasi waktu terbatas, 150 menit, diikuti tiga capres maupun cawapres, dipotong break dan hal-hal teknis lainnya, sulit untuk bisa optimal mengeksplorasi pandangan dan visi-misi dari para kandidat.
Sehingga bila debat versi KPU mau dijadikan landasan untuk mengambil satu kesimpulan, sesungguhnya kurang relevan.
Adapun glorifikasi hasil debat, ditandai dengan pemberitaan media massa maupun melalui berbagai platform media sosial, yang boleh dikata telah berlebihan.
Glorifikasi adalah tindakan memberikan gambaran atau perlakuan yang sangat positif terhadap sesuatu atau seringkali melebih-lebihkan kelebihan atau prestasi atau pencapaian seseorang.
Glorifikasi juga bisa mencakup pembesaran atau penyajian berlebihan terhadap kejadian, ideologi, atau tokoh. Seringkali dengan tujuan membangkitkan pengaguman atau dukungan dari khalayak.
Sesuatu yang wajar di masa kampanye, tapi bila itu dilakukan tanpa melihat riwayat adu gagasan pada moment sebelumnya, membawa kesan dramatisasi.
Ini yang perlu dilihat dan disikapi dengan pikiran terbuka. Afiliasi politik jangan kemudian membuat kita tak jujur dan bahkan sekadar menjadi corong legitimasi atas sesuatu yang bisa jadi sarat kamuflase.
Dalam konteks ini, glorifikasi dapat berujung atau menjadikan kelompok pendukung ada pada keyakinan terhadap sesuatu menyangkut ‘kehebatan’ atau ‘kemampuan’ seseorang, tapi faktanya kopong.
Artinya, glorifikasi dapat menyebabkan kekecewaan yang mendalam bila kemudian atau ternyata yang digandang-gandang itu tidak sesuai dengan harapan atau ekspektasi. Hanya polesan dan tak otentik.
Sekalipun dampak glorifikasi bervariasi, karena di satu sisi, dapat memunculkan atau hadirkan rasa inspirasi dan kekaguman terhadap sesuatu yang dipuja.