ESENSI debat pilpres adalah memberikan kesempatan kepada calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) dalam menyampaikan visi, misi, serta program kerja mereka kepada publik.
Dengan debat, pemilih dapat memahami pandangan dan komitmen setiap kandidat, sehingga memungkinkan mereka membuat keputusan yang lebih informan saat memilih pemimpin negara.
Debat sejatinya adalah pertunjukan, sejumlah elemen turut memengaruhi. Seperti persiapan di belakang panggung, teknik berdebat, mengunci lawan dengan mencari titik lemah, termasuk pertanyaan menjebak menjadi bagian dari strategi untuk tampil menonjol.
Namun, setiap yang menyimak punya pandangan atau penilaian terhadap satu debat, termasuk debat cawapres yang dilakukan semalam, Jumat, 22 Desember 2023.
Meski begitu, ada sejumlah catatan penulis, yang bisa saja subjektif, dan didebatkan.
Pertama, soal format debat cawapres. Kritik publik rupanya telah berhasil membuat KPU yang sebelumnya akan mengadakan debat cawapres dengan format didampingi capres menjadi berubah, sehingga dikembalikan pada format debat cawapres tahun 2019, hanya para cawapres di atas stage.
Sebelumnya publik protes dengan adanya sejumlah preseden buruk yang memberikan kesan kurang independennya KPU, mengubah format debat dengan memasangkan capres dan cawapres dalam sesi debat cawapres akan mengonfirmasi penilaian miring itu.
KPU akhirnya mendengar aspirasi yang mengemuka, dan seperti kita saksikan, debat cawapres tampil seperti format debat capres. Masing-masing cawapres tampil atas stage tanpa didampingi para capres.
Kedua, semua cawapres tampil baik, terutama Gibran yang tampil tidak mengecewakan. Bisa jadi ini karena ada persiapan yang matang, didampingi sejumlah mentor komunikasi dan public speaking.
Namun ada beberapa catatan. Antara lain, sekalipun pada sesi pertama Gibran tampil mulus atau lancar, dengan menggunakan sejumlah diksi atau istilah baru khas Milenial dan Gen Z, namun pada titik itu, justru memperlihatkan sejumlah kelemahan.
Gibran terlihat kurang otentik, seperti menghafal skrip dalam pertunjukan teater. Hal ini terkonfirmasi dalam sejumlah penjelasan Gibran pada sesi-sesi selanjutnya, tidak lagi mengeksplorasi padangan atau statement yang dikemukakan pada sesi pertama.
Pada sesi tanya jawab, yang sudah di luar atau tidak linier dengan ‘skrip’ di sesi awal, Gibran terlihat kurang begitu memahami sejumlah istilah dan pertanyaan yang diajukan lawan debat maupun panelis.
Seperti soal rasio pajak, tips membangun Solo hingga mendapat alokasi anggaran yang besar, bagaimana terkait infrastruktur sosial, apa itu hilirisasi digital, hingga bagaimana terkait penganggaran IKN, serta pembiayaan makan siang dan susu gratis.
Gibran juga terlihat memberikan pertanyaan ‘jebakan Batman’ kepada Muhaimin Iskandar, dengan bertanya menggunakan akronim yang relatif baru (SGIE=State of Global Islamic Economy) tanpa menyampaikan atau menjelaskan kepanjangannya.
Gibran kemudian meminta maaf kalau telah mengajukan pertanyaan yang sulit kepada Muhaimin. Namun itu lebih terkesan memojokkan lawan debat.