Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kekuasaan Bukan Sesuatu yang Sederhana, Anak Muda!

Kompas.com - 30/10/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JANGAN menyepelekan kekuasaan, apalagi meremehkannya atas nama idealisme yang mulia. Kekuasaan tak sesederhana yang dibayangkan.

Celakanya, pemain baru yang biasanya adalah tokoh-tokoh muda acapkali menyederhanakan kekuasaan, seolah kehadiran mereka akan mengubah banyak hal dalam tatanan politik.

Pada akhirnya, waktu dan sejarah membuktikan bahwa kekuasaan tidak bisa dipandang sesederhana itu. Kekuasaan tidak mudah ditundukkan hanya dengan mimpi-mimpi indah yang tercantol di dalam idealisme politisi muda.

Untuk menjadi pemain handal sekaligus idealistik di atas hamparan politik tak hanya butuh ilmu dan pengetahuan luas, tapi juga kebijaksanaan dan kearifan mapan, karakter kuat, determinasi tak lekang oleh keadaan apapun, dan kelincahan berdiplomasi interpersonal yang mumpuni.

Salah satu contoh menarik adalah Bashar al-Assad, misalnya. Presiden Suriah ke 19, yang dicap bertangan besi tersebut, pada awalnya adalah seorang dokter mata lulusan London, UK yang sangat lugu.

Anak kedua dari Hafez al-Assad, pemimpin Suriah tiga periode tersebut tidak direncanakan untuk menjadi suksesor bapaknya di Suriah.

Kematian kakak tertuanya akhirnya membuat Hafez harus mengambil keputusan untuk mendidik Bashar al-Asaad secara instan sebagai calon suksesor.

Dalam perjalanan waktu yang tidak terlalu panjang, kematian sang bapak membuat Bashar al-Asaad harus mengemban tugas sebagai seorang presiden pada usia 34 tahun.

Absennya kaderisasi pemimpin di Suriah, membuat Bashar al-Asaad dinobatkan jadi presiden setelah amandemen UU yang mengatur bahwa presiden harus berumur 40 tahun ke atas.

Pada mulanya, idealisme anak muda tampak bergelora. Bashar al-Asaad bersedia melakukan beberapa reformasi, seperti pengakuan terhadap kebebasan pers.

Namun pada akhirnya, keadaan dan hasrat untuk tetap berada di tampuk kekuasaan memaksa Asaad untuk bertangan besi, sebagaimana karakter kekuasaan dari pendahulunya.

Invasi Irak oleh Amerika Serikat membuat Asaad harus memutar otak agar riak Amerikanisasi tidak merembes ke negaranya. Bangkitnya kelompok fundamentalisme, kemudian bergeloranya semangat Arab Springs, menyisakan pilihan yang sulit bagi beliau.

Untuk tetap bertahan di atas singgasana kekuasaan, dibutuhkan berbagai cara yang cenderung antidemokratik. Kekerasan politik, beraliansi dengan negara yang tidak demokratik dan otoriter, memberangus lawan politik, dan lain-lain, adalah beberapa jalan yang harus ditempuh.

Semua tokoh yang mengenal Asaad sedari awal dengan gamblang bisa melihat perubahan drastis seorang dokter mata menjadi seorang presiden yang bertangan besi.

Nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari seorang Asaad yang lugu, antikekerasan, toleran, dan pemalu itu.

Dengan kata lain, kekuasaan di Suriah hingga hari ini masih berkarakter sama dengan kekuasaan semasa era bapaknya, sekalipun jangkauan kekuasaan tersebut nyaris tersisa 20-30 persen saja dibanding era sang ayahnya. Dan memang begitulah kekuasaan bekerja.

Tidak hanya ilmu dan pengetahuan luas yang dibutuhkan, tapi juga kearifan, kesiapan mental, karakter kuat, tekad bulat, dan kapasitas adaptasi mumpuni.

Dengan kombinasi semua itu, maka kekuasaan bisa diarahkan pada kebaikan rakyat, ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan lembut, dan untuk perdamaian.

Begitu pula dengan Barack Obama, sosok tokoh muda di belahan dunia lain, ia Presiden ke 44 negara Paman Sam.

Presiden Amerika Serikat pertama yang berkulit cokelat tersebut juga hanya penerus tradisi pendahulunya, Bill Clinton.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com