SUDAH 20 tahun lebih reformasi sistem politik berlangsung, namun kebijakan afirmatif 30 persen minimal wakil perempuan di parlemen belum juga terwujud. Pemilu 2019 hanya menghantarkan 20,5 persen anggota DPR perempuan.
Bisakah Pemilu 2024 mencapai target 30 persen minimal tersebut? Ada beberapa masalah yang perlu diatasi untuk itu.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 10 ayat 7 menetapkan komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota agar memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Demikian juga untuk komposisi keanggotaan Bawaslu (pasal 92 ayat 11).
Faktanya, saat ini hanya ada satu orang perempuan di KPU dan Bawaslu. Hal yang sama sangat mungkin terjadi juga di banyak daerah.
Sebagai contoh, Bawaslu Sumatera Utara periode 2023-2028 tidak memiliki anggota perempuan, padahal pada dua periode sebelumnya ada, bahkan menjadi ketua.
Sebetulnya Tim Seleksi anggota Bawaslu Sumut sudah memilih dua perempuan dari 14 calon anggota yang diserahkan kepada Bawaslu, namun keduanya tidak termasuk dalam 7 anggota Bawaslu Sumut yang ditetapkan (Kompas.id, 18/7/2023). Alhasil di Bawaslu Sumut saat ini tidak ada wakil perempuan.
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) mencatat seleksi gelombang pertama di 25 Bawaslu provinsi, dari total 75 anggota Bawaslu terpilih, hanya menghadirkan 11 perempuan (14,67 persen) yang menjadi komisioner (Kompas.id, 13/5/2023).
Kesimpulan: pada tingkat penyelenggara pemilu, kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan agaknya masih belum sesuai dengan undang-undang.
Masalah lain adalah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat 2 PKPU tersebut mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil).
Disebutkan bahwa jika perhitungan 30 persen dari jumlah caleg suatu dapil menghasilkan angka pecahan dua desimal di belakang koma yang bernilai kurang dari 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Namun jika bernilai 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Misalnya, suatu dapil dengan 8 kursi DPR, maka 30 persen wakil perempuan adalah 30 persen x 8 orang = 2,4 orang, yang dibulatkan ke bawah menjadi dua orang menurut PKPU 10/2023.
Padahal, menurut UU No. 7/2017 pelaksanaan pemilu sebelumnya, pembulatannya dilakukan ke atas, sehingga wakil perempuan di dapil itu seharusnya tiga orang.
Pengurangan jumlah caleg perempuan berbasis perhitungan matematika inilah (dari tiga menjadi dua) yang digugat oleh para pakar dan pegiat demokrasi peduli perempuan, karena mengalahkan kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Secara nasional, perhitungan dengan metoda pembulatan ke bawah yang dianut KPU itu menyebabkan berkurangnya kuota caleg perempuan di 38 dapil, dari 80 dapil di seluruh Indonesia (Kompas.id, 9/5/2023).