DI TENGAH simpang siur nasib masyarakat di Pulau Rempang, Batam, atau di saat "emak-emak" risau karena harga beras melambung tinggi, ada saja yang menghembuskan "rumor" politik terkait salah satu bakal calon presiden.
Seberapa pentingkah urusan rumor seorang bakal calon presiden yang dikabarkan menampar dan mencekik seorang wakil menteri di saat rapat terbatas di Istana belum lama ini dibanding masalah riil yang sedang dihadapi bangsa saat ini?
Kita semua tentu paham masalah Pulau Rempang penting. Begitu pula dengan masalah harga beras yang terus melambung sebagai salah satu komoditas pokok yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Keduanya sama-sama penting dan memerlukan solusi segera.
Saya tidak mengatakan bahwa masalah tingkah polah bakal calon presiden tak penting. Namun, jika tingkah polah mereka "di-framing" melalui rumor, dengan tujuan politis jangka pendek nan naif, maka secara tidak langsung si penyebar rumor justru telah menutup perhatian kita terhadap masalah sesungguhnya yang sedang melanda negeri ini.
Apalagi, rumor tersebut ternyata mengharuskan berbagai pihak untuk memberikan pernyataan sikap sebagai bentuk halus "pembelaan" dan "falsifikasi". Tidak terkecuali Presiden Jokowi.
Walhasil, rumor tersebut semakin menyita mata pena dan mata kamera dari dunia media yang membuat beberapa masalah penting yang sedang dihadapi negeri ini menjadi terpinggirkan di ruang publik.
Sisi negatifnya, rumor tentang penamparan dan pencekikan ini akan terus bergulir menjadi rumor karena statusnya sebagai rumor di satu sisi, lalu tetap menyita ruang publik kita di sisi lain, lagi-lagi karena statusnya sebagai rumor.
Para pihak, baik pendukung bakal calon presiden yang dipergunjingkan di dalam rumor ataupun lawan politiknya, akan membakar banyak energi untuk saling memanfaatkan situasi. Namun nahasnya, kedua pihak hanya akan fokus pada tujuan politiknya masing-masing.
Para pendukung sang bakal calon presiden akan menganulir rumor tersebut sembari mengumbar berbagai bahasa yang mengesankan bahwa "mereka" memang sudah terbiasa difitnah dan disudutkan.
Dengan kata lain, para pendukung akan membungkus rumor ini dengan strategi politik "terzalimi", dengan target teknis untuk mendapatkan simpati dan empati.
Rumor yang sudah menjadi "gelombang" tersebut akan ditunggangi sedemikian rupa untuk mencapai target tertentu pula.
Sementara bagi lawan politiknya, rumor akan dijadikan "alat politik" untuk menegasikan dan menyudutkan sang bakal calon presiden.
Apalagi, isi rumor cukup layak dikaitkan dengan sebagian karakter dan penampakan sang kandidat presiden di beberapa kesempatan masa lalu.
Dengan kata lain, isi rumor tersebut akan diupayakan untuk terlihat sinkron dengan video sang kandidat pada masa lalu yang terlihat memukul-mukul podium dengan emosional, misalnya.
Jadi akan ada upaya dari lawan politik sang kandidat untuk memola isi rumor agar tetap selaras dengan karakter emosional sang kandidat yang terdapat di video-video terdahulu itu.
Yang terjadi kemudian adalah rentetan bantahan dan kontrabantahan yang tidak berujung, tapi fakta yang sebenarnya justru tak pernah diungkap.
Batas antara fakta dan kebenaran akhirnya menjadi "blur", bahkan hilang. Para pihak sama-sama mengisi ruang publik dengan bantahan dan kontrabantahan atas "rumor".
Berbeda kasusnya, misalnya, jika rumor tersebut bisa menjelma menjadi fakta, baik dengan hadirnya bukti otentik seperti video atau pernyataan langsung dari "terduga" korban, maka secara langsung akan menjadi pembicaraan yang layak dibicarakan di ruang publik.