JAKARTA, KOMPAS.com - Kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus berlanjut meski sudah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna pada Selasa (11/7/2023).
Pihak yang kontra beranggapan bahwa UU Kesehatan belum memenuhi partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sehingga pembahasan UU Kesehatan dinilai tidak transparan.
Hal ini mengacu pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna. Dalam beleid tersebut, ada tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna.
Baca juga: Pembelaan Menkes Soal UU Kesehatan, dari Pasal Mandatory Spending sampai Jalan Mulus Nakes Asing
Syarat-syarat itu meliputi hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Jelang pengesahan, ratusan orang yang terdiri dari lima organisasi profesi (OP) kembali melakukan aksi di depan gedung DPR RI pada Selasa (11/7/2023) pagi. Mereka menyuarakan agar pembahasan dan pengesahan RUU Kesehatan dihentikan.
Ada sederet masalah dalam proses penyusunan maupun substansi UU Kesehatan yang dibuat hanya dalam kurun 1 tahun.
Mereka juga menyoroti dibolehkannya dokter asing bekerja di Indonesia. Meski pemerintah mengeklaim, izin itu hanya bakal diberikan terbatas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun rumah sakit swasta tempat investor negaranya menanam saham.
"Poin yang paling mendasar untuk kami salah satunya adalah memberikan privilege khusus untuk dokter asing, kemudahan mereka praktik di sini. Sementara orang kita, untuk praktik saja prosedurnya cukup panjang," ucap Ketua Bidang Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tangerang Selatan Panji Utomo dalam aksi unjuk rasa siang tadi.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bahkan meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Penerbitan Perppu bertujuan untuk membatalkan UU Kesehatan yang baru saja disahkan.
Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih menilai, penyusunan RUU Kesehatan terburu-buru. Diskusi publik termasuk dalam penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) terjadi hanya pada Februari - April 2023.
Bahkan, tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan.
Di samping itu, publik juga belum mendapatkan penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan RUU ini.
“Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini,” kata Diah.
Baca juga: Demokrat Tolak RUU Kesehatan, AHY Ungkit Juga Pernah Tolak UU Cipta Kerja
Senada, Ikatan Dokter Indonesia mempertanyakan dokumen atau draf RUU Kesehatan yang akhirnya disahkan menjadi UU. Sebab hingga UU disahkan, ia belum mendapatkan draf resmi produk hukum teranyar itu.