JAKARTA, KOMPAS.com - Proses revisi Undang-Undang Desa (RUU Desa) menjadi sorotan karena dianggap dilakukan dalam waktu yang relatif sangat cepat.
Hal itu berbeda dengan nasib RUU Perampasan Aset yang sampai saat ini nasibnya masih terkatung-katung.
Di sisi lain, revisi UU Desa dinilai menyimpan potensi bahaya.
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut proses negosiasi pembebasan pilot Susi Air, Philips Mark Methrtens, diserahkan kepada Penjabat (Pj) Bupati Nduga Edison Gwijangge.
Baca juga: Sistem Kebut Semalam RUU Desa Timbulkan Tanya, Bentuk Transaksi Elektoral Pemilu 2024?
Revisi masa jabatan kepala desa (kades) dianggap bisa mengikis proses demokrasi dan menuntun pada otoritarianisme.
Masa jabatan perlu dibatasi guna mencegah hal-hal korup yang cenderung akan terjadi jika perpanjangan masa jabatan dilakukan.
Usul Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengenai revisi masa jabatan kades bukan sebatas wacana.
Pada Juni 2023, usul ini mendapat lampu hijau DPR—dari 6 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan menjadi 9 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak dua kali masa jabatan.
Di tengah jabatan kades yang kini di kelilingi kewenangan dan hak pengelolaan ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah dana desa, usulan ini harus dicermati serius.
Baca juga: Formappi Duga DPR Kebut Revisi UU Desa untuk Kepentingan Pemilu 2024
Menarik jika perpanjangan masa jabatan kades dibandingkan dengan kepala negara. Akan terlihat seolah di luar nalar.
Masa jabatan kepala negara yang notabene dengan lingkup tanggung jawab besar (kompleks) saja diatur dan dibatasi: 5 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak dua kali masa jabatan.
Lantas ini, kades dengan lingkup tanggung jawab lebih sempit serta kecil (sederhana), justru masa jabatannya lebih lama.
Tak kalah menggelitik adalah pertimbangan perpanjangan salah satunya karena masa waktu 2 tahun awal jabatan digunakan untuk konsolidasi perangkat desa dan warga.
Maklum, ketegangan dan polarisasi seringkali muncul pasca-pemilihan kepala desa (Pilkades). Sekitar empat puluh persen waktu menjabat akan terbuang untuk itu.
Baca juga: Tolak Revisi UU Desa, KPPOD Singgung Kapitalisasi Desa demi Pemilu 2024
Perpanjangan masa jabatan ini tentu membahayakan, bahkan bertentangan dengan alam demokrasi kita. Demokrasi memiliki game of rules, salah satunya adalah pembatasan masa jabatan pemerintah.