Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Nilai UU dan Krisis Kepemimpinan Jadi Penyebab Banyaknya Persoalan di KPK

Kompas.com - 30/06/2023, 13:06 WIB
Irfan Kamil,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis menilai, berbagai kasus yang terkuak dari internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti pungutan liar di Rutan KPK, terjadi lantaran adanya revisi Undang-Undang dan krisis kepemimpinan di lembaga antikorupsi tersebut.

"Ya saya setuju ada krisis kepempimpinan, saya enggak membantah itu," kata Todung Mulya dalam acara Satu Meja Kompas TV yang dikutip Kompas.com, Kamis (29/6/2023).

Menurut dia, KPK didirikan melalui Undang-Undang yang super power untuk memberantas korupsi yang tersistem di masa lalu.

Baca juga: Eks Pimpinan KPK Sebut Perlu Ada Perppu untuk Kembalikan KPK pada Garis Perjuangan

Ia berpandangan, lembaga antikorupsi itu tidak bisa disamakan dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan dalam konteks pemberantasan korupsi.

"Kalau membandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan, mereka kan beda dengan KPK. KPK didirikan karena korupsi yang begitu systemik, endemik, dan widespread," papar mantan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia itu.

"Ini lembaga yang super, lembaga yang special, extraordinary, dan oleh sebab itu dituntut lebih, dan kalau dia (KPK) disamakan dengan Kepolisian dan Kejaksaan menurut saya tidak ada bedanya," ucap Todung Mulya.

Baca juga: Saut Situmorang Ungkap Pernah Ada Tahanan KPK Izin Berobat, tapi Malah Jalan-jalan

Pengamat antikorupsi ini pun berpendapat, kekuatan KPK telah digerogoti dengan revisi Undang-Undang nomor 19 tahun 2019. Padahal, menurutnya, Undang-undang sebelum direvisi memberikan kekuatan KPK untuk bisa memberantas korupsi secara maksimal tanpa pandang bulu.

"Ekspektasi kita kepada KPK begitu tinggi dan kita memberikan segala-galanya, semua power, semua hak kepada KPK untuk bisa berbuat lebih dari apa yang dibuat oleh Kepolisian dan Kejaksaan," kata Todung Mulya.

"Oleh sebab itu, saya melihat KPK ini memang dihadapkan kepada dua hal, satu, Undang-undang yang melemahkan KPK, dimana banyak sekali hak-hak atau kewenangan KPK yang dipreteli oleh Undang-undang. Kedua ya kepemimpinan yang tidak seperti yang kita harapkan kalau kita bandingkan dengan KPK-KPK pada periode sebelumnya," imbuh dia.

Baca juga: Pimpinan KPK Ungkap Kasus Pungli Penyelundupan Ponsel di Rutan Sudah Terjadi sejak 2018

Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkapkan adanya kasus pungli di rutan KPK. Temuan dugaan tindak pidana ini terungkap saat lembaga itu memproses laporan dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri.

Anggota Dewas KPK, Albertina Ho mengatakan, pihaknya telah mengungkap dugaan pungli itu dilakukan dengan setoran tunai.

“Semua itu menggunakan rekening pihak ketiga dan sebagainya,” kata Albertina Ho.

Menurutnya, nilai pungli di rutan KPK cukup fantastis, yakni Rp 4 miliar dalam satu tahun. Albertina Ho juga menyebut adanya kemungkinan jumlah uang pungli itu akan terus bertambah.

“Periodenya Desember 2021 sampai dengan Maret 2022 itu sejumlah Rp 4 miliar, jumlah sementara, mungkin akan berkembang lagi,” ujar Albertina Ho.

Baca juga: Demoralisasi dan Degradasi KPK Dinilai Terjadi Setelah Revisi Undang-Undang

Albertina mengatakan, pihaknya telah menyerahkan temuan tersebut kepada pimpinan KPK, Deputi Penindakan dan Eksekusi, hingga Direktur Penyelidikan. Sementara dugaan pidana telah diserahkan kepada KPK. Sementara Dewas tetap melanjutkan proses etik persoalan pungli di KPK.

“Kemudian, nanti bagaimana hasilnya (sidang etik) juga akan diberitahu secara transparan kepada rekan-rekan media,” kata Albertina Ho.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com