Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahfud: Pemerintah Sediakan Dana Riset untuk Pelurusan Sejarah Tragedi 1965-1966

Kompas.com - 23/06/2023, 19:49 WIB
Nirmala Maulana Achmad,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, pemerintah menyediakan dana riset untuk pelurusan sejarah tragedi 1965-1966.

Hal itu diungkapkan Mahfud dalam konferensi pers terkait pelaksanaan kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023).

Mahfud mengatakan bahwa dana riset itu akan disediakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

“Soal kebenaran sejarahnya itu ilmu, Kemndikbudristek akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah,” kata Mahfud.

Baca juga: Komersialisasi Hasil Riset dan Inovasi Pertamina Berhasil Ciptakan Nilai Rp 217 Miliar

Namun, kata Mahfud, hasil riset itu tidak mungkin menjadi satu-satunya kebenaran. Sebab, kata dia, setiap penulis sejarah memiliki orientasinya sendiri.

“Jadi kita menyediakan dana untuk siapa yang mau menulis sejarah, silakan. Tapi jadi (naskah) akademik, bukan hasilnya itu lalu jadi dasar kebijakan, tak akan pernah ketemu, sejarah itu akan beda-beda,” tutur Mahfud.

Data terbaru, terdapat 134 eksil dari korban peristiwa 1965-1966. Dua di antaranya akan ikut dalam kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial di Rumah Geudong, Aceh, pada Selasa (27/6/2023).

“Dua, dari Rusia dan Ceko akan ikut datang ke Aceh,” kata Mahfud.

Penyelesaian atau penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu jalur non-yudisial itu berupa pemulihan hak-hak korban, seperti pemberian beasiswa, jaminan kesehatan, rehabilitasi rumah, pelatihan-pelatihan keterampilan dan sebagainya.

Baca juga: Terduga Pelaku Pelanggaran HAM Masa Lalu Tak Dicari Dinilai Langgengkan Impunitas

Adapun eksil merupakan korban peristiwa 1965-1966 yang terpaksa berada di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Tanah Air.

Dalam kasus 1965-1966, setelah berhasil merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran, termasuk bagi orang Indonesia di luar negeri yang dilakukan skrining. Para WNI di luar negeri diuji loyalitasnya kepada rezim Orde Baru.

Mereka yang tidak mau mengakui Soeharto sebagai pemimpin negara yang sah, dituduh sebagai kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau simpatisan komunis, dan dicabut kewarganegaraanya.

Baca juga: KPK Ungkap Nilai TPPU Ricky Ham Pagawak Mencapai Rp 210 Miliar

Banyak dari mereka yang sebelumnya merupakan mahasiswa maupun diplomat di luar negeri dicabut paspornya oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) karena tidak mau tunduk pada Soeharto.

Mereka pun lantas menjadi eksil yang terkatung-katung di negeri orang tanpa memiliki kewarnegaraan dan harus berpisah dengan sanak saudara di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com