PEMILIHAN umum (pemilu) legislatif kian dekat, perilaku politisi dan partai politik (parpol) yang berupaya mendulang suara semakin semarak. Gejala yang lumrah dalam momentum demokrasi elektoral.
Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (15/6/2023), menjadikan pemilu legislatif nanti tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Dengan demikian, keunggulan politisi calon anggota legislatif (caleg) di internal partai tetap menggunakan atau ditentukan oleh mekanisme perolehan suara terbanyak. Nomor urut bukan ukuran.
Hal ini seperti pula dalam pemilu sebelumnya bakal berdampak pada kompetisi yang semakin ketat, tidak hanya antarparpol dan calegnya. Persaingan juga sengit antara para caleg di internal parpol.
Dalam sistem proporsional terbuka, media kampanye para caleg dengan tegas hanya menampilkan atau menonjolkan nama dan nomor urutnya. Sementara posisi nama dan nomor urut sejawatnya dibiarkan kosong, seolah tak penting.
Merupakan bentuk komunikasi politik yang menegaskan persaingan terbuka antarsesama caleg di internal partai. Apalagi kalau caleg itu sama-sama populer dan punya peluang untuk menang.
Di internal parpol, persaingan kerap menguat antara kader parpol otentik yang telah setia membesarkan partai dengan politisi kaget yang baru direkrut jelang pemilu karena punya modal popularitas.
Kontestasi yang semakin meruncing tidak saja berimplikasi pada ongkos politik yang semakin tinggi, namun potensi konflik politik atau gesekan antarcaleg atau parpol juga kerap mengemuka.
Untuk konflik atau perselisihan antarparpol peserta pemilu maupun caleg atau politisi beda partai telah ada mekanisme yang mengatur, antara lain melalui KPU dan Bawaslu, pusat dan daerah.
Namun untuk konflik antarcaleg dari parpol yang sama (konflik internal) tentu memerlukan kesiapan mekanisme internal parpol untuk mengelolanya. Jika tidak, maka perpecahan internal menyeruak usai pemilu.
Persoalan lainnya bagi kualitas demokrasi adalah persaingan antarcaleg saat ini lebih didominasi persaingan tampang, ketimbang adu program partai dan saling menonjolkan visi-misi caleg.
Jumlah politisi yang menjajakan tampangnya di berbagai sudut kota, jalan raya dan fasilitas umum lainnya masih belum sebanding dengan mereka yang mau datang bertemu dengan basis massa dalam melakukan komunikasi politik dan menyerap aspirasi.
Masih lebih menonjol konten sosialisasi politik yang kental panjat sosial ketimbang tawaran gagasan atau narasi dan jejak karya yang relevan dengan penyelesaian persoalan yang dihadapi rakyat.
Saat ini bila melihat di sekeliling kita, sejumlah iklan politik seperti baliho, poster dan stiker para politisi yang berjejer.
Polesan wajah dengan teknologi digital dan percetakan, membuat tampilan mereka kerap berbeda dari aslinya, menjadikan politisi semacam ini benar-benar terlihat narsis.