JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengingatkan pemilih untuk tidak terseret dalam politik uang yang mungkin dilakukan oleh peserta Pemilu 2024 nanti.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengingatkan, bukan hanya buruk dari segi ketatanegaraan dan demokrasi, politik uang juga diharamkan secara agama.
Ia menyinggung fatwa MUI tentang haramnya politik uang dan berharap lembaga itu lebih aktif menyosialisasikannya.
"Fatwa (haram) sudah ada, politik uang itu haram. Tapi tidak tersosialisasikan, itu problemnya," kata Bagja ketika ditemui di kantornya, Rabu (21/6/2023).
Baca juga: MK Sebut Politik Uang Bisa Dikurangi dengan Penegakan Hukum hingga Pembubaran Parpol
Dikutip Antara, fatwa pada 2018 tersebut merupakan hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI yang dipusatkan di Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru dan dibahas melalui empat komisi perwakilan 34 MUI dari seluruh Indonesia.
Fatwa itu berkaitan dengan politik uang dan pemberian imbalan untuk mengarahkan pilihan dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif.
"Politik uang termasuk mahar politik dan memberikan imbalan dalam bentuk apa pun adalah haram," ujar Ketua Umum MUI saat itu, Ma'ruf Amin, di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Ia mengatakan, memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun tidak dibolehkan karena memilih merupakan kewajiban setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih.
Baca juga: Mahfud MD: Indeks Kerawanan Pemilu di Kaltim Tinggi, Ada Politik Uang, Pemalsuan Dokumen
Dia menekankan, jika pemilih diarahkan untuk memilih orang lain dan dibayar, hukumnya haram. Keduanya, baik orang yang diberi maupun pemberi melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan.
"Perbuatan memberi itu tidak benar dan menerima juga tidak boleh karena tergolong haram. Apalagi pilihan bukan diarahkan kepada orang berkompeten di bidangnya," ujar dia lagi.
Menurut dia, permintaan dan atau pemberian imbalan dalam bentuk apa pun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik hukumnya haram dan termasuk risywah (suap).
"Pemberian imbalan hukumnya haram karena termasuk kategori risywah (suap) atau membuka jalan risywah apalagi jika hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya," kata dia.
Baca juga: MK: Politik Uang dan Korupsi Bukan Imbas Sistem Pemilu, tapi Masalah Struktural
Kemudian, meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, kepala daerah dan jabatan publik lain padahal itu tugasnya maka hukumnya haram.
"Begitu juga, meminta suatu imbalan kepada seseorang padahal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab serta kewenangannya maka hukumnya adalah haram," ujar Ma'ruf.
Bahkan, imbalan yang telah diberikan dalam proses pencalonan atau pemilihan suatu jabatan tertentu bisa dirampas dan digunakan untuk kepentingan maupun kemaslahatan umum.
"Jadi, status hukum atas imbalan yang diberikan bisa dirampas dan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum," kata mantan anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu pula.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.