AMBON, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan alasan perlunya pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurutnya, hal itu merupakan persoalan marwah lembaga negara, presiden, dan wakil presiden.
"Ini terkait dengan marwah lembaga negara, marwah presiden, marwah wakil presiden. Ini bukan persoalan equility before the law. Tetapi ini persoalan primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat)," kata Eddy dalam acara Kumham Goes To Campus di Universitas Pattimura, Ambon, Kamis (4/5/2023).
Baca juga: Wamenkumham: KUHP Baru Tidak Membungkam Kebebasan Berbicara
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) itu pun menjelaskan dalam filosofi hukum pidana, salah satu fungsi hukum untuk melindungi kepentingan.
Dia menyebutkan kepentingan yang dimaksudkan di antaranya melindungi nyawa seseorang, properti, serta martabat.
Lebih lanjut, Eddy juga menyoroti adanya pasal terkait makar atau pembunuhan terhadap presiden dan menyandingkannya dengan pasal penhinaan presiden.
Menurutnya, jika ada pasal terkait makar, maka hal itu menandakan presiden dan wakilnya memiliki kedudukan.
"Makar itu kan pembunuhan terhadap presiden, mengapa harus ada pasal itu kan ada pasal pembunuhan biasa. Itu menandakan bahwa presiden dan wakil presiden itu punya kedudukan dan bukan orang sembarangan," ucapnya.
Baca juga: Komnas HAM Pantau Implementasi Hukuman Mati dalam KUHP Baru
Selain itu, Eddy menambahkan presiden dan wakil presiden telah dipilih oleh mayoritas masyarakat sehingga perlu diatur soal pasal penghinaan presiden.
"Anda bisa bayangkan jumlah pemilih mereka itu minimal 50 persen yang punya hak pilih plus 1. Jadi itu harus diatur," ujar Eddy.
Dalam kesempatan yang sama, Eddy menyebut Presiden Joko Widodo pernah mempertanyakan soal perlunya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kepada tim ahli KUHP nasional yang baru.
Eddy mengungkap saat itu Jokowi meminta agar pasal penghinaan presiden ditiadakan.
Namun, tim ahli KUHP baru mengatakan hal itu adalah terkait marwah dari presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Anggota DPR Sebut Kasus Luhut Vs Haris Azhar-Fatia Sesuai Norma KUHP Baru
"Beliau mengatakan bahwa adalah 'Saya ini kalau dihina juga tidak apa-apa. Jadi sebaiknya pasal itu dihapus'," ucap Eddy.
"Saya kira Prof Tuti, Prof Muladi waktu itu menjawab dengan tegas bahwa ini bukan persoalan Joko Widodo, kita, tapi ini persoalan marwah dari presiden dan wakil presiden," sambungnya.
Diketahui, koalisi masyarakat sipil menilai, ada sejumlah aturan bermasalah KUHP terbaru. Beberapa pasal yang menuai banyak penolakan misalnya terkait penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa.
Pasal-pasal itu mengatur pidana pada perbuatan penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, penghasutan untuk melawan penguasa umum, hingga penyerangan terhadap kehormatan presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Arti Penjara Seumur Hidup Menurut KUHP Lama dan Baru, Dipenjara Berapa Lama?
Adapun DPR telah menyetujui RKUHP sebagai undang-undang dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022).
Meski telah diresmikan, undang-undang itu tidak langsung berlaku namun baru resmi berlaku tiga tahun ke depan, tepatnya pada tahun 2026.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.