“PULANG”, pilihan kata yang saya rasa paling pas, karena lebih umum daripada kata “mudik” yang terkesan hanya untuk orang yang pulang ke kampung halaman di udik.
Sejarawan JJ Rizal, pernah mengatakan, arti “mudik” berasal dari kata “menuju ke udik”. Artinya menuju suatu tempat yang jauh dari kampung, di daerah hulu yang sulit dijangkau.
Kata “udik” itu mengandung konotasi negatif: orang kampung, kurang tahu sopan-santun, daerah perkampungan yang belum tersentuh kemajuan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut sederet makna “udik” yang berkonotasi negatif, antara lain kurang tahu sopan santun; canggung (kaku) tingkah lakunya; bodoh. Contoh, “masih udik benar orang ini”.
Sementara orang yang dikatakan sebagai pemudik, belum tentu orang udik. Banyak di antara mereka yang berasal dari kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Semarang, Medan, dan Bandung. Jadi kurang pas lah kalau dibilang mereka mudik.
Bisa jadi kata “mudik” mengandung sikap angkuh terhadap para perantau yang datang ke kota. Para perantau seringkali dikhayalkan sebagai masyarakat pencari nafkah yang datang dari udik, jauh dari kemajuan peradaban terkini.
Padahal banyak di antara perantau yang berasal dari lingkungan yang tampak lebih maju daripada lingkungan tempat mereka merantau. Karena itulah saya memilih kata yang lebih netral: pulang. Pulang kemana? Terserah!
Terlepas dari istilah-istilah yang digunakan, ketika saya mengawali menulis kolom dengan topik pulang ini, saya merasa agak sentimentil, teraduk-aduk perasaan tentang pulang yang begitu pribadi.
Soal pulang kampung, saya juga punya pengalaman pribadi yang mengesankan. Sulit diceritakan di sini. Banyak orang mengalami juga.
Cerita pulang kampung, bukanlah hanya tradisi Indonesia. Di seluruh belahan bumi juga ada tradisi serupa, dan dilakukan pada musim liburan hari besar, seperti Idul Fitri, Tahun Baru, Natal, dan liburan sekolah.
Negara-negara lain yang terdapat tradisi pulang secara massal seperti Indonesia, antara lain China, Malaysia, Turki, India, Mesir, dan Arab Saudi.
Pulang pada saat yang bersamaan ditandai pergerakan manusia dalam jumlah besar. Biasanya dimanfaatkan oleh perusahaan angkutan atau maskapai penerbangan dengan meningkatkan harga tiket, baik untuk angkutan udara, darat, dan laut.
Besaran ongkos dan keperluan lain selama pulang yang harus dibayar, sering menjadi pertimbangan pulang ke kampung halaman, walaupun alasan uang sering disembunyikan.
Alasan yang sering mengemuka adalah soal keterbatasan waktu. Maka penduduk generasi Z yang belum berpenghasilan cukup, banyak yang minta ditransfer uang oleh orangtua mereka untuk beli tiket kalau ingin pulang. Bahkan ada yang minta dijemput pulang.
Itu baru problem ongkos, belum problem yang seringkali tidak terhindarkan. Misalnya kemacetan lalu lintas, antre panjang masuk ruang toilet umum di tempat istirahat, rest area seperti di jalan tol. Kesulitan dan hambatan biasanya menjadi pertimbangan pulang.