JAKARTA, KOMPAS.com - Kriminalisasi dua aktivis hak asasi manusia (HAM) Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dinilai sebagai bukti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih jadi musuh kebebasan berpendapat.
Hal itu disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dari 55 organisasi pembela HAM dan lembags bantuan hukum.
"UU ITE kembali menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di ruang digital," ujar anggota koalisi yang juga Divisi Hukum Kontras Andi Rezaldy dalam keterangan tertulis, Senin (3/4/2023).
Menurut Andi, berbagai pasal karet yang ada dalam UU ITE terbukti telah memakan banyak korban.
Baca juga: Penampilan Haris Azhar dan Fatia Hadiri Sidang Perdana di PN Jaktim
Selain itu, kata Andi, penggunaan instrumen hukum tersebut diskriminatif, sebab hanya akan menjerat orang-orang yang dikategorisasikan sebagai bukan simpatisan pemerintah.
"Dengan UU ITE yang tak kunjung direvisi oleh pemerintah, masyarakat kian enggan berpendapat di platform media sosialnya masing-masing karena takut dikriminalisasi," ucap dia.
Andi menilai langkah pemerintah untuk mengeluarkan pedoman implementasi pun tak efektif berjalan.
"Produk hukum semacam ini bahkan diperparah dengan kemunculan pasal-pasal anti-demokrasi di KUHP baru yang baru disahkan akhir tahun 2022 lalu," imbuh dia.
Sebagai informasi, hari ini, Senin (3/4/2023) Fatia dan Haris menjalani sidang perdana terkait kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Baca juga: Kuasa Hukum Haris Azhar dan Fatia Ingin Berkas Perkara Digabungkan
Sidang tersebut merupakan lanjutan dari keputusan Polda Metro Jaya yang menetapkan kedua aktivis HAM itu sebagai tersangka sejak 19 Maret 2022.
Perkara ini berawal dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam" yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.
Dalam video tersebut, keduanya menyebut Luhut "bermain" dalam bisnis tambang di Intan Jaya Papua.
Dalam laporan YLBHI dkk, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang diduga terlibat dalam bisnis tersebut, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).
Dua dari empat perusahaan itu, yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer atau polisi, termasuk Luhut.
Baca juga: Haris Azhar Didakwa Sengaja Cemarkan Nama Baik Luhut Lewat Media Sosial
Setidaknya, ada tiga nama aparat yang terhubung dengan PT MQ. Mereka adalah purnawirawan polisi Rudiard Tampubolon, purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan Luhut.
Luhut sempat membantah tudingan itu dan melayangkan somasi kepada Haris dan Fatia agar mereka meminta maaf.
Namun, permintaan itu tidak dipenuhi sehingga Luhut memutuskan melaporkan Haris dan Fatia ke polisi pada 22 September 2021.
Luhut mengatakan, dirinya memutuskan untuk lapor polisi karena pernyataan Haris dan Fatia ia nilai sudah menyinggung nama baiknya dan keluarga.
"Ya karena (Haris dan Fatia) sudah dua kali (disomasi) tidak mau minta maaf, saya kan harus mempertahankan nama baik saya, anak, cucu saya," kata Luhut saat itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.