Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andy Suryadi
Dosen Sejarah FIS UNNES

Koordinator Pusat Kajian Militer dan Kepolisian (Puskampol) Indonesia, Pengajar Sejarah Militer dan Kepolisian di Jurusan Sejarah FIS UNNES

Membongkar Nalar Penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U-20

Kompas.com - 31/03/2023, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GEGAP gempita event prestisius sepakbola level dunia World Cup U-20, yang tadinya begitu dinanti dan diharapkan sebagai ajang promosi Indonesia ke dunia internasional akhirnya berujung duka.

Event yang telah dipersiapkan bertahun-tahun dan mengorbankan banyak hal tersebut terancam gagal justru jelang kick off.

Mimpi besar pertama kalinya melihat para pesepakbola muda kita bersaing dengan para pesepakbola muda top dunia telah sirna.

Tragisnya semua duka itu muncul bukan karena faktor ketidakmampuan atau faktor teknis lainnya, namun justru karena faktor sentimen politik yang dibawa ke dunia olahraga.

Semuanya gara-gara satu hal yang paling tidak diharapkan, namun akhirnya malah terjadi, yaitu lolosnya Israel ke event tersebut dengan status gagah Runner Up Euro U-19. Uniknya ini adalah pertama kalinya Israel lolos Piala Dunia U-20.

Keberuntungan Israel sebaliknya menjadi nasib apes bagi Indonesia. Israel adalah hantu politik terbesar sekaligus komoditas politik yang sangat menjual.

Awalnya penolakan tampak landai karena hanya disuarakan sebagian kelompok (utamanya Fraksi PKS dan beberapa ormas).

Isu ini membesar justru setelah disuarakan oleh dua Gubernur yang lokasinya ditunjuk sebagai tuan rumah, yaitu I Wayan Koster (Bali) dan Ganjar Pranowo (Jateng), yang sama-sama berasal dari partai penyokong pemerintah, yaitu PDIP.

Dampaknya langsung signifikan, drawing turnamen yang sedianya dihelat di Bali pada 31 Maret 2023, dibatalkan FIFA.

Kini event tersebut bukan hanya gagal digelar di Indonesia, namun lebih dari itu bayangan sanksi dari FIFA selama beberapa tahun juga ada di depan mata. Sebuah berkah yang tiba-tiba bisa menjadi bencana.

Umumnya ada tiga dalil yang disampaikan oleh mereka yang menolak kedatangan Israel. Pertama, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Kedua, tudingan FIFA melakukan standar ganda karena menghukum Rusia karena invasi ke Ukraina, namun tidak menghukum Israel yang dianggap menginvasi Palestina. 

Ketiga, posisi Israel yang diyakini sebagai penjajah Palestina sehingga menerima Israel bermain di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap kolonialisme sekaligus pelanggaran konstitusi kita.

Dalil pertama

Terkait dalil pertama soal ketiadaan hubungan diplomatik dengan Israel, tampaknya adalah dalil paling mudah dimentahkan.

Contoh konkret, misalnya, berapa kali atlet bulutangkis Taiwan seperti Chou Tien Chien, Tai Tzu Ying dkk, bermain di Istora Senayan Jakarta.

Juga berkali-kali timnas sepakbola kita bertanding melawan timnas Taiwan. Padahal Indonesia dan Taiwan tidak punya hubungan diplomatik.

Dalil kedua

Biasanya mereka yang menolak Timnas Israel berdalih soal standar ganda FIFA karena menghukum Rusia terkait invasinya ke Ukraina, sedangkan Israel yang dianggap sama-sama menginvasi Palestina tidak dihukum.

Bagi mereka yang menyimak aneka drama terkait tragedi peperangan dan keputusan FIFA baru-baru aja jelang Piala Dunia 2022, mungkin akan mudah menerima argumentasi ini.

Namun bagi mereka yang sudah lama mengamati tentu akan punya wawasan memadai bahwa hukuman organisasi sepakbola terhadap negara yang mengobarkan perang bukan hanya terhadap Rusia saja.

Jerman dan Jepang pernah mengalami pascaperang dunia kedua. Kemudian Yugoslavia malah lebih tragis lagi karena tiket kelolosannya di Piala Eropa 1992 harus dipindahkan oleh UEFA ke Tim Dinamit Denmark (Brian Laudrup dkk) yang bak kisah dongeng akhirnya justru berhasil menjadi juara.

Ada beberapa poin yang biasanya dijadikan catatan FIFA ketika menghukum negara yang dianggap menjadi penyebab perang:

Pertama, dalam menghukum, FIFA tentu sudah memiliki kompleksitas pertimbangan, misalnya karena faktor keamanan, penerimaan anggota lain, dan keberlangsungan pertandingan.

Dalam hal hukuman Rusia, awalnya FIFA tetap memperbolehkan timnas Rusia bermain, tapi tidak membawa nama dan bendera Rusia (kasusnya hampir sama saat Indonesia dihukum Badan Anti Doping Dunia/WADA, sehingga tim Thomas kita hanya mengibarkan bendera PBSI saat juara Thomas Cup tahun 2021).

Namun karena mayoritas negara Eropa menolak bertanding lawan Rusia, maka demi kepastian jadwal dan pertimbangan keselamatan, maka FIFA memutuskan membekukan sementara Rusia.

Kasus penolakan bermain yang kemudian berujung masalah juga pernah dialami Israel. Akibatnya Israel tidak pernah bisa berlaga bertahun-tahun dan harus pontang-panting beralih federasi dari Asia ke Oceania sampai kemudian berlabuh ke Eropa.

Kedua, FIFA bisa saja mencabut hukuman atau tidak memberikan hukuman pada negara yang terlibat konflik. Alasannya tidak terlalu mengancam keselamatan kontingen dan tidak lagi dipermasalahkan anggota lain.

Hal ini pernah dirasakan oleh Yugoslavia yang dihukum jelang Piala Eropa 1992. Sanksi tersebut kemudian dicabut tahun 1994, ketika keadaan dianggap sudah membaik.

Meskipun kemudian Serbia sebagai representasi Yugoslavia terlibat pertikaian dengan beberapa eks negara Yugoslavia lainnya (Bosnia-Kosovo), tapi timnas Serbia tetap bisa eksis di FIFA.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com