Salin Artikel

Membongkar Nalar Penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U-20

Event yang telah dipersiapkan bertahun-tahun dan mengorbankan banyak hal tersebut terancam gagal justru jelang kick off.

Mimpi besar pertama kalinya melihat para pesepakbola muda kita bersaing dengan para pesepakbola muda top dunia telah sirna.

Tragisnya semua duka itu muncul bukan karena faktor ketidakmampuan atau faktor teknis lainnya, namun justru karena faktor sentimen politik yang dibawa ke dunia olahraga.

Semuanya gara-gara satu hal yang paling tidak diharapkan, namun akhirnya malah terjadi, yaitu lolosnya Israel ke event tersebut dengan status gagah Runner Up Euro U-19. Uniknya ini adalah pertama kalinya Israel lolos Piala Dunia U-20.

Keberuntungan Israel sebaliknya menjadi nasib apes bagi Indonesia. Israel adalah hantu politik terbesar sekaligus komoditas politik yang sangat menjual.

Awalnya penolakan tampak landai karena hanya disuarakan sebagian kelompok (utamanya Fraksi PKS dan beberapa ormas).

Isu ini membesar justru setelah disuarakan oleh dua Gubernur yang lokasinya ditunjuk sebagai tuan rumah, yaitu I Wayan Koster (Bali) dan Ganjar Pranowo (Jateng), yang sama-sama berasal dari partai penyokong pemerintah, yaitu PDIP.

Dampaknya langsung signifikan, drawing turnamen yang sedianya dihelat di Bali pada 31 Maret 2023, dibatalkan FIFA.

Kini event tersebut bukan hanya gagal digelar di Indonesia, namun lebih dari itu bayangan sanksi dari FIFA selama beberapa tahun juga ada di depan mata. Sebuah berkah yang tiba-tiba bisa menjadi bencana.

Umumnya ada tiga dalil yang disampaikan oleh mereka yang menolak kedatangan Israel. Pertama, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Kedua, tudingan FIFA melakukan standar ganda karena menghukum Rusia karena invasi ke Ukraina, namun tidak menghukum Israel yang dianggap menginvasi Palestina. 

Ketiga, posisi Israel yang diyakini sebagai penjajah Palestina sehingga menerima Israel bermain di Indonesia adalah bentuk dukungan terhadap kolonialisme sekaligus pelanggaran konstitusi kita.

Dalil pertama

Terkait dalil pertama soal ketiadaan hubungan diplomatik dengan Israel, tampaknya adalah dalil paling mudah dimentahkan.

Contoh konkret, misalnya, berapa kali atlet bulutangkis Taiwan seperti Chou Tien Chien, Tai Tzu Ying dkk, bermain di Istora Senayan Jakarta.

Juga berkali-kali timnas sepakbola kita bertanding melawan timnas Taiwan. Padahal Indonesia dan Taiwan tidak punya hubungan diplomatik.

Dalil kedua

Biasanya mereka yang menolak Timnas Israel berdalih soal standar ganda FIFA karena menghukum Rusia terkait invasinya ke Ukraina, sedangkan Israel yang dianggap sama-sama menginvasi Palestina tidak dihukum.

Bagi mereka yang menyimak aneka drama terkait tragedi peperangan dan keputusan FIFA baru-baru aja jelang Piala Dunia 2022, mungkin akan mudah menerima argumentasi ini.

Namun bagi mereka yang sudah lama mengamati tentu akan punya wawasan memadai bahwa hukuman organisasi sepakbola terhadap negara yang mengobarkan perang bukan hanya terhadap Rusia saja.

Jerman dan Jepang pernah mengalami pascaperang dunia kedua. Kemudian Yugoslavia malah lebih tragis lagi karena tiket kelolosannya di Piala Eropa 1992 harus dipindahkan oleh UEFA ke Tim Dinamit Denmark (Brian Laudrup dkk) yang bak kisah dongeng akhirnya justru berhasil menjadi juara.

Ada beberapa poin yang biasanya dijadikan catatan FIFA ketika menghukum negara yang dianggap menjadi penyebab perang:

Pertama, dalam menghukum, FIFA tentu sudah memiliki kompleksitas pertimbangan, misalnya karena faktor keamanan, penerimaan anggota lain, dan keberlangsungan pertandingan.

Dalam hal hukuman Rusia, awalnya FIFA tetap memperbolehkan timnas Rusia bermain, tapi tidak membawa nama dan bendera Rusia (kasusnya hampir sama saat Indonesia dihukum Badan Anti Doping Dunia/WADA, sehingga tim Thomas kita hanya mengibarkan bendera PBSI saat juara Thomas Cup tahun 2021).

Namun karena mayoritas negara Eropa menolak bertanding lawan Rusia, maka demi kepastian jadwal dan pertimbangan keselamatan, maka FIFA memutuskan membekukan sementara Rusia.

Kasus penolakan bermain yang kemudian berujung masalah juga pernah dialami Israel. Akibatnya Israel tidak pernah bisa berlaga bertahun-tahun dan harus pontang-panting beralih federasi dari Asia ke Oceania sampai kemudian berlabuh ke Eropa.

Kedua, FIFA bisa saja mencabut hukuman atau tidak memberikan hukuman pada negara yang terlibat konflik. Alasannya tidak terlalu mengancam keselamatan kontingen dan tidak lagi dipermasalahkan anggota lain.

Hal ini pernah dirasakan oleh Yugoslavia yang dihukum jelang Piala Eropa 1992. Sanksi tersebut kemudian dicabut tahun 1994, ketika keadaan dianggap sudah membaik.

Meskipun kemudian Serbia sebagai representasi Yugoslavia terlibat pertikaian dengan beberapa eks negara Yugoslavia lainnya (Bosnia-Kosovo), tapi timnas Serbia tetap bisa eksis di FIFA.

Padahal ekskalasi perang Serbia-Bosnia saat itu bisa dibilang lebih panas dibandingkan Israel-Palestina yang mengalami pasang surut. Jadi memang tidak semua perang dan agresi selalu berujung sanksi.

Keempat, anggaplah jika memang FIFA terbukti melakukan diskriminasi, lalu kenapa yang disuarakan bukan memperjuangkan kembalinya Rusia, namun lebih cenderung agar Israel dicoret?

Padahal posisi Israel di FIFA selama beberapa tahun terakhir memang sudah mapan dan jarang dipermasalahkan lagi oleh mayoritas negara anggota, sehingga meminta mencoret Israel jelas tidak mudah.

Kelima, okelah sebagai suatu aspirasi, penolakan Israel boleh kita diskusikan kepada FIFA, siapa tahu ada solusi.

Namun jika FIFA tidak menerima, lalu bagaimana? Mau tetap ngotot dengan risiko posisi sebagai tuan rumah terancam dicoret dan disanksi?

Atau mau beromantika dengan sejarah membuat FIFA tandingan sebagaimana Bung Karno dulu membuat Ganefo sebagai Olimpiade tandingan?

Satu hal yang pasti, semua organisasi dan event tandingan tersebut tidak ada yang bertahan lama. Anggotanya pada akhirnya memilih kembali bergabung dengan organisasi dan event mayor yang sudah mapan.

Gampangnya sekarang, jikapun ngotot ingin bikin FIFA tandingan, lalu siapa yang mau jadi anggotanya? Bahkan Palestina yang sedang kita bela sekalipun belum tentu mau bergabung.

Dalil ketiga

Dalil yang umumnya paling kuat disuarakan terkait penolakan Israel adalah karena posisi Israel sebagai penjajah saudara kita di Palestina.

Sehingga menerima kehadiran Israel sama saja menerima penjajah dan mengkhianati amanat konstitusi kita yang jelas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

Pendapat ini tampak begitu manis dan mulia, akan tetapi jika kita mengecek penerapannya banyak bias politik dan aroma tebang pilih.

Pertama, Palestina yang kita bela tidak mempermasalahkan tim Israel, mereka menyadari ini semua bukan kemauan Indonesia, namun karena ketentuan FIFA.

Jika tokoh Palestina saja bisa memahami logika politik demikian, lalu kenapa kita cenderung “overacting” dalam menyikapi?

Kedua, kedatangan atlet Israel ke Tanah Air sudah berulangkali terjadi. Misalnya di cabang bulutangkis, balap sepeda dan panjat dinding, namun selama ini tidak pernah dipermasalahkan.

Salah satu atlet panjat dinding Israel, yaitu Yuval Sheva, bahkan pernah head to head langsung dengan atlet Indonesia.

Ketiga, meski tanpa hubungan diplomatik, catatan sejarah jelas menunjukkan adanya pasang surut sikap pemerintah kita dengan Israel. Misalnya, era Soeharto kita pernah membeli puluhan pesawat Sky Hawk dari sana.

Gus Dur bahkan pernah mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.

Jadi kalau puluhan pesawat yang jelas punya makna pertahanan dan politik saja mau kita pakai, lalu kenapa cuma atlet muda yang mau numpang bermain bola kita permasalahkan?

Keempat, lalu bagaimana dengan mereka yang menolak dengan argumen meneruskan jejak perjuangan dan sikap Bung Karno.

Argumen ini terutama diajukan Gubernur Bali dan Jateng, yang wilayahnya kebetulan menjadi tuan rumah. Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster kebetulan sama-sama dari PDIP.

Tanpa meragukan semangat dan perjuangan Bung Karno dalam melawan kolonialisme dan menentang Israel, namun jika menilik sejarah tampaknya implementasi yang diterapkan Bung Karno tidak selalu kaku, terkadang lentur, terukur, menyesuaikan kondisi dan memperhitungkan secara matang untung ruginya.

Misalnya dalam kasus antikolonialisme, jika Bung Karno menerapkannya secara kaku, mengapa Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Inggris (1949) dan Perancis (1950). Padahal pada waktu itu kedua negara tersebut masih memiliki banyak negara jajahan di berbagai belahan dunia.

Jika sekadar menerima delegasi sepakbola yang “numpang” bermain di tanah air, bukan atas kemauan kita tapi karena ketentuan FIFA dianggap mendukung mendukung kolonialisme, lalu bagaimana dengan hubungan diplomati yang tentunya dampaknya jauh lebih luas?

Dalam soal penolakan bertanding dengan Timnas Israel tahun 1958, perlu dicermati bahwa tahun 1958 adalah era gencarnya Bung karno menjadi motor KAA dan GNB, sehingga jelas perlu momen sebagai pembuktian.

Penting juga digarisbawahi bahwa dalam menolak bertanding dengan suatu tim, domainnya jelas lebih simpel dibandingkan ketika kita menolak kehadiran sebuah tim saat jadi tuan rumah sebuah event besar.

Tapi anggaplah meneruskan perjuangan Bung Karno hal yang absah, lalu mengapa baru sekarang? Padahal sampai awal tahun kemarin, mereka masih semangat mempersiapkan, perubahan haluan di saat akhir jelas membuat semuanya berubah menjadi simalakama.

Apakah mereka selama ini kurang memiliki proyeksi bahwa dalam event Piala Dunia, terbuka kemungkinan Israel akan ikut serta. Bahkan kepastian lolosnya Israel sudah sejak pertengahan tahun lalu, terus kemana saja beliau selama ini?

Kelima, banyak politisi yang sekarang getol menolak Israel, pernah bersikap sebaliknya alias plin-plan.

Misalnya dari FPKS dengan tokoh utamanya Nasir Jamil dan Mardani Ali Sera. Kemudian Fadli Zon dari Gerindra, Rachland Nashidik dari Demokrat dan mungkin ada nama lain yang belum sempat terpantau penulis.

Ada satu pernyataan dari Nasir Jamil saat Raker dengan Kemenpora dalam sidang Komisi III DPR beberapa waktu lalu, yang masih terngiang di kuping penulis.

“Jadi sekali lagi, ini bukan tentang keagaamaan, tapi tentang penjajahan dan kemanusiaan….karenanya mari kita berpegang teguh pada konstitusi”.

Ada juga statement dari Fadli Zon (Wakil Ketua DPR) yang dikutip sebuah situs berita online sebagai berikut: “Israel adalah penjajah, brutal dan tiap hari menjarah tanah Palestina, membunuh warga Palestina tak berdosa, baik Muslim maupun Kristiani….sebagai negara yang jelas dalam konstitusi menjunjung sikap antipenjajahan, antiapartheid, kedatangan Timnas U-20 Israel harus ditolak di Indonesia,” tegasnya. (Holopis.com).

Kedua pernyataan tersebut memang tampak begitu hebat dan heroik dalam upaya menolak kolonialisme Israel. Namun mari kita membuka memori setahun lalu di Bali, tanggal 20-24 Maret 2022.

Penulis yakin Nasir Jamil, Fadli Zon, serta beberapa politisi Senayan lainnya, termasuk Gubernur Bali pasti tahu dan tidak lupa, bahwa pada waktu tersebut dilaksanakan Konferensi Inter Parliamentary Union atau IPU (semacam FIFA-nya DPR sedunia) dengan DPR-RI sebagai tuan rumahnya.

Mereka pasti juga ingat bahwa Israel hadir di sana, bahkan merasa disambut hangat. Delegasi mereka juga tampak membawa dan memamerkan bendera negaranya di berbagai kesempatan.

Para anggota Dewan yang terhormat ini pasti juga sangat paham betul bahwa kehadiran anggota parlemen Israel dalam event tersebut, jelas punya imbas secara politik dan diplomasi dibandingkan belasan anak muda yang datang sekadar ingin bermain bola.

Lalu di mana protes dan penolakan Nasir Jamil, Fadli Zon (Ketua BKSAP), dan Mardani Ali Sera (Wakil BKSAP) saat itu?

Di mana posisi kata-kata, “ini bukan tentang keagamaan namun tentang kemanusiaan, menerima Israel sama dengan mengakui eksistensi mereka sebagai negara penjajah?”

Justru yang jelas adalah statement Fadli Zon yang berbeda 180 derajat dengan statementnya sekarang: “anggota IPU sebanyak 178 negara dan semua harus diundang, tidak boleh ada yang tidak diundang. Israel termasuk anggota organisasi ini” (kumparan.com, 27 Maret 2023 pukul 18.47 WIB).

Pertanyaanya lalu apa bedanya dengan kondisi Piala Dunia U-20 sekarang? Kalau sekarang beliau-beliau gigih menolak, lalu kemana sikap hebat dan heroik itu menghilang setahun lalu?

Apakah karena mereka yang punya gawe, terus takut kegiatan IPU tersebut gagal dan DPR-RI ditepikan oleh IPU?

Berdasarkan fakta terakhir ini saja, kita semua jelas bisa mencerna, apakah ini murni aksi antikolonialisme sebagai wujud kepatuhan konstitusi yang tulus ataukah sekadar bualan dan jualan politik semata?

Heroik dan garangnya mereka sekarang dalam menolak jika dikomparasikan dalam kasus IPU, tak lebih karena ini dianggap sebagai komoditas menggiurkan bagi konstituennya tanpa harus menanggung risiko berarti.

Jika Indonesia batal jadi tuan rumah dan disanksi FIFA, mereka tidak akan pernah menanggung risiko apa-apa.

Padahal sanksi FIFA dapat berdampak pada sia-sianya uang puluhan trilliun rupiah yang sudah kadung diinvestasikan. Selain itu, belasan anak muda yang dalam 3 tahun terakhir bolak-balik ikut TC akan sia-sia.

Harapan jutaan penggemar sepakbola Indonesia menyaksikan New Messi dan Ronaldo di depan mata juga akan sirna.

Tak hanya itu, ratusan ribu anak yang gigih berlatih dapat kehilangan kesempatan unjuk gigi di kancah internasional beberapa tahun kedepan.

Sekitar 500.000 orang pemain dan pelaku usaha terkait sepakbola juga terancam kehilangan mata pencahariannya.

Ironisnya, Israel yang kita tolak dan Palestina yang kita dukung tetap akan bisa berkompetisi sebagaimana biasanya.

Sebenarnya Presiden Jokowi termasuk tegas menghadapi dilema ini. Langkah awal dengan pidato tempo hari dan mengutus Ketum PSSI diskusi dengan FIFA lumayan melegakan.

Akan tetapi karena memang “ditikung” pada saat akhir, maka semua berubah jadi simalakama.

Kini nasi sudah menjadi bubur, impian dan pengorbanan yang selama ini kita lakukan lenyap begitu saja.

FIFA sudah pasti mencoret kita sebagai tuan rumah. Kini kita tinggal berharap tidak disanksi oleh FIFA. Jika terkena sanksi, maka imbasnya akan jauh lebih luas. Kenyataan ini membuat kita rugi luar biasa, baik secara moril maupun materiil.

Kedepan jangan lagi bermimpi jadi tuan rumah Olimpiade atau Piala Dunia Senior. Presiden Jokowi tampaknya juga harus melakukan evaluasi besar, sejumlah pejabat yang tiba-tiba berbeda haluan (misal Gubernur Bali dan Jateng serta Menko PMK sekaligus Plt. Menpora yang pernyataannya secara tersirat tampak terlalu Pro-Tolak Israel) harus dimintai pertanggungjawaban.

Penulis tentu berharap pecinta sepakbola di Tanah Air juga menandai tragedi ini, sekaligus memastikan semua pihak (jangan ke satu pihak tertentu) yang menolak Israel kemarin bertanggung jawab secara proporsional.

Karena kita paham bahwa meskipun sejauh ini prestasi sepakbola kita jarang menggembirakan, namun ia selalu rutin menghadirkan tangis dan tawa laksana drama yang membuat hidup kita penuh warna.

Ia satu-satunya yang bisa menghadirkan ratusan ribu orang di stadion demi meneriakkan nama “Indonesia”. Namun, harapan jutaan pemirsa yang ingin melihat putra terbaik bangsa menantang dunia untuk pertama kalinya yang sudah di depan mata sudah sirna.

Selanjutnya mari kita kawal agar sanksi FIFA tidak turun. Penghidupan pelaku sepakbola tidak boleh ditumbalkan, hanya karena jualan politik para politisi, apalagi politisi plin-plan.

https://nasional.kompas.com/read/2023/03/31/11030831/membongkar-nalar-penolakan-timnas-israel-di-piala-dunia-u-20

Terkini Lainnya

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke