Padahal ekskalasi perang Serbia-Bosnia saat itu bisa dibilang lebih panas dibandingkan Israel-Palestina yang mengalami pasang surut. Jadi memang tidak semua perang dan agresi selalu berujung sanksi.
Keempat, anggaplah jika memang FIFA terbukti melakukan diskriminasi, lalu kenapa yang disuarakan bukan memperjuangkan kembalinya Rusia, namun lebih cenderung agar Israel dicoret?
Padahal posisi Israel di FIFA selama beberapa tahun terakhir memang sudah mapan dan jarang dipermasalahkan lagi oleh mayoritas negara anggota, sehingga meminta mencoret Israel jelas tidak mudah.
Kelima, okelah sebagai suatu aspirasi, penolakan Israel boleh kita diskusikan kepada FIFA, siapa tahu ada solusi.
Namun jika FIFA tidak menerima, lalu bagaimana? Mau tetap ngotot dengan risiko posisi sebagai tuan rumah terancam dicoret dan disanksi?
Atau mau beromantika dengan sejarah membuat FIFA tandingan sebagaimana Bung Karno dulu membuat Ganefo sebagai Olimpiade tandingan?
Satu hal yang pasti, semua organisasi dan event tandingan tersebut tidak ada yang bertahan lama. Anggotanya pada akhirnya memilih kembali bergabung dengan organisasi dan event mayor yang sudah mapan.
Gampangnya sekarang, jikapun ngotot ingin bikin FIFA tandingan, lalu siapa yang mau jadi anggotanya? Bahkan Palestina yang sedang kita bela sekalipun belum tentu mau bergabung.
Dalil ketiga
Dalil yang umumnya paling kuat disuarakan terkait penolakan Israel adalah karena posisi Israel sebagai penjajah saudara kita di Palestina.
Sehingga menerima kehadiran Israel sama saja menerima penjajah dan mengkhianati amanat konstitusi kita yang jelas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Pendapat ini tampak begitu manis dan mulia, akan tetapi jika kita mengecek penerapannya banyak bias politik dan aroma tebang pilih.
Pertama, Palestina yang kita bela tidak mempermasalahkan tim Israel, mereka menyadari ini semua bukan kemauan Indonesia, namun karena ketentuan FIFA.
Jika tokoh Palestina saja bisa memahami logika politik demikian, lalu kenapa kita cenderung “overacting” dalam menyikapi?
Kedua, kedatangan atlet Israel ke Tanah Air sudah berulangkali terjadi. Misalnya di cabang bulutangkis, balap sepeda dan panjat dinding, namun selama ini tidak pernah dipermasalahkan.
Salah satu atlet panjat dinding Israel, yaitu Yuval Sheva, bahkan pernah head to head langsung dengan atlet Indonesia.
Ketiga, meski tanpa hubungan diplomatik, catatan sejarah jelas menunjukkan adanya pasang surut sikap pemerintah kita dengan Israel. Misalnya, era Soeharto kita pernah membeli puluhan pesawat Sky Hawk dari sana.
Gus Dur bahkan pernah mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.
Jadi kalau puluhan pesawat yang jelas punya makna pertahanan dan politik saja mau kita pakai, lalu kenapa cuma atlet muda yang mau numpang bermain bola kita permasalahkan?
Keempat, lalu bagaimana dengan mereka yang menolak dengan argumen meneruskan jejak perjuangan dan sikap Bung Karno.
Argumen ini terutama diajukan Gubernur Bali dan Jateng, yang wilayahnya kebetulan menjadi tuan rumah. Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster kebetulan sama-sama dari PDIP.
Tanpa meragukan semangat dan perjuangan Bung Karno dalam melawan kolonialisme dan menentang Israel, namun jika menilik sejarah tampaknya implementasi yang diterapkan Bung Karno tidak selalu kaku, terkadang lentur, terukur, menyesuaikan kondisi dan memperhitungkan secara matang untung ruginya.
Misalnya dalam kasus antikolonialisme, jika Bung Karno menerapkannya secara kaku, mengapa Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Inggris (1949) dan Perancis (1950). Padahal pada waktu itu kedua negara tersebut masih memiliki banyak negara jajahan di berbagai belahan dunia.
Jika sekadar menerima delegasi sepakbola yang “numpang” bermain di tanah air, bukan atas kemauan kita tapi karena ketentuan FIFA dianggap mendukung mendukung kolonialisme, lalu bagaimana dengan hubungan diplomati yang tentunya dampaknya jauh lebih luas?
Dalam soal penolakan bertanding dengan Timnas Israel tahun 1958, perlu dicermati bahwa tahun 1958 adalah era gencarnya Bung karno menjadi motor KAA dan GNB, sehingga jelas perlu momen sebagai pembuktian.
Penting juga digarisbawahi bahwa dalam menolak bertanding dengan suatu tim, domainnya jelas lebih simpel dibandingkan ketika kita menolak kehadiran sebuah tim saat jadi tuan rumah sebuah event besar.
Tapi anggaplah meneruskan perjuangan Bung Karno hal yang absah, lalu mengapa baru sekarang? Padahal sampai awal tahun kemarin, mereka masih semangat mempersiapkan, perubahan haluan di saat akhir jelas membuat semuanya berubah menjadi simalakama.
Apakah mereka selama ini kurang memiliki proyeksi bahwa dalam event Piala Dunia, terbuka kemungkinan Israel akan ikut serta. Bahkan kepastian lolosnya Israel sudah sejak pertengahan tahun lalu, terus kemana saja beliau selama ini?
Kelima, banyak politisi yang sekarang getol menolak Israel, pernah bersikap sebaliknya alias plin-plan.
Misalnya dari FPKS dengan tokoh utamanya Nasir Jamil dan Mardani Ali Sera. Kemudian Fadli Zon dari Gerindra, Rachland Nashidik dari Demokrat dan mungkin ada nama lain yang belum sempat terpantau penulis.