Ada satu pernyataan dari Nasir Jamil saat Raker dengan Kemenpora dalam sidang Komisi III DPR beberapa waktu lalu, yang masih terngiang di kuping penulis.
“Jadi sekali lagi, ini bukan tentang keagaamaan, tapi tentang penjajahan dan kemanusiaan….karenanya mari kita berpegang teguh pada konstitusi”.
Ada juga statement dari Fadli Zon (Wakil Ketua DPR) yang dikutip sebuah situs berita online sebagai berikut: “Israel adalah penjajah, brutal dan tiap hari menjarah tanah Palestina, membunuh warga Palestina tak berdosa, baik Muslim maupun Kristiani….sebagai negara yang jelas dalam konstitusi menjunjung sikap antipenjajahan, antiapartheid, kedatangan Timnas U-20 Israel harus ditolak di Indonesia,” tegasnya. (Holopis.com).
Kedua pernyataan tersebut memang tampak begitu hebat dan heroik dalam upaya menolak kolonialisme Israel. Namun mari kita membuka memori setahun lalu di Bali, tanggal 20-24 Maret 2022.
Penulis yakin Nasir Jamil, Fadli Zon, serta beberapa politisi Senayan lainnya, termasuk Gubernur Bali pasti tahu dan tidak lupa, bahwa pada waktu tersebut dilaksanakan Konferensi Inter Parliamentary Union atau IPU (semacam FIFA-nya DPR sedunia) dengan DPR-RI sebagai tuan rumahnya.
Mereka pasti juga ingat bahwa Israel hadir di sana, bahkan merasa disambut hangat. Delegasi mereka juga tampak membawa dan memamerkan bendera negaranya di berbagai kesempatan.
Para anggota Dewan yang terhormat ini pasti juga sangat paham betul bahwa kehadiran anggota parlemen Israel dalam event tersebut, jelas punya imbas secara politik dan diplomasi dibandingkan belasan anak muda yang datang sekadar ingin bermain bola.
Lalu di mana protes dan penolakan Nasir Jamil, Fadli Zon (Ketua BKSAP), dan Mardani Ali Sera (Wakil BKSAP) saat itu?
Di mana posisi kata-kata, “ini bukan tentang keagamaan namun tentang kemanusiaan, menerima Israel sama dengan mengakui eksistensi mereka sebagai negara penjajah?”
Justru yang jelas adalah statement Fadli Zon yang berbeda 180 derajat dengan statementnya sekarang: “anggota IPU sebanyak 178 negara dan semua harus diundang, tidak boleh ada yang tidak diundang. Israel termasuk anggota organisasi ini” (kumparan.com, 27 Maret 2023 pukul 18.47 WIB).
Pertanyaanya lalu apa bedanya dengan kondisi Piala Dunia U-20 sekarang? Kalau sekarang beliau-beliau gigih menolak, lalu kemana sikap hebat dan heroik itu menghilang setahun lalu?
Apakah karena mereka yang punya gawe, terus takut kegiatan IPU tersebut gagal dan DPR-RI ditepikan oleh IPU?
Berdasarkan fakta terakhir ini saja, kita semua jelas bisa mencerna, apakah ini murni aksi antikolonialisme sebagai wujud kepatuhan konstitusi yang tulus ataukah sekadar bualan dan jualan politik semata?
Heroik dan garangnya mereka sekarang dalam menolak jika dikomparasikan dalam kasus IPU, tak lebih karena ini dianggap sebagai komoditas menggiurkan bagi konstituennya tanpa harus menanggung risiko berarti.
Jika Indonesia batal jadi tuan rumah dan disanksi FIFA, mereka tidak akan pernah menanggung risiko apa-apa.
Padahal sanksi FIFA dapat berdampak pada sia-sianya uang puluhan trilliun rupiah yang sudah kadung diinvestasikan. Selain itu, belasan anak muda yang dalam 3 tahun terakhir bolak-balik ikut TC akan sia-sia.
Harapan jutaan penggemar sepakbola Indonesia menyaksikan New Messi dan Ronaldo di depan mata juga akan sirna.
Tak hanya itu, ratusan ribu anak yang gigih berlatih dapat kehilangan kesempatan unjuk gigi di kancah internasional beberapa tahun kedepan.
Sekitar 500.000 orang pemain dan pelaku usaha terkait sepakbola juga terancam kehilangan mata pencahariannya.
Ironisnya, Israel yang kita tolak dan Palestina yang kita dukung tetap akan bisa berkompetisi sebagaimana biasanya.
Sebenarnya Presiden Jokowi termasuk tegas menghadapi dilema ini. Langkah awal dengan pidato tempo hari dan mengutus Ketum PSSI diskusi dengan FIFA lumayan melegakan.
Akan tetapi karena memang “ditikung” pada saat akhir, maka semua berubah jadi simalakama.
Kini nasi sudah menjadi bubur, impian dan pengorbanan yang selama ini kita lakukan lenyap begitu saja.
FIFA sudah pasti mencoret kita sebagai tuan rumah. Kini kita tinggal berharap tidak disanksi oleh FIFA. Jika terkena sanksi, maka imbasnya akan jauh lebih luas. Kenyataan ini membuat kita rugi luar biasa, baik secara moril maupun materiil.
Kedepan jangan lagi bermimpi jadi tuan rumah Olimpiade atau Piala Dunia Senior. Presiden Jokowi tampaknya juga harus melakukan evaluasi besar, sejumlah pejabat yang tiba-tiba berbeda haluan (misal Gubernur Bali dan Jateng serta Menko PMK sekaligus Plt. Menpora yang pernyataannya secara tersirat tampak terlalu Pro-Tolak Israel) harus dimintai pertanggungjawaban.
Penulis tentu berharap pecinta sepakbola di Tanah Air juga menandai tragedi ini, sekaligus memastikan semua pihak (jangan ke satu pihak tertentu) yang menolak Israel kemarin bertanggung jawab secara proporsional.
Karena kita paham bahwa meskipun sejauh ini prestasi sepakbola kita jarang menggembirakan, namun ia selalu rutin menghadirkan tangis dan tawa laksana drama yang membuat hidup kita penuh warna.
Ia satu-satunya yang bisa menghadirkan ratusan ribu orang di stadion demi meneriakkan nama “Indonesia”. Namun, harapan jutaan pemirsa yang ingin melihat putra terbaik bangsa menantang dunia untuk pertama kalinya yang sudah di depan mata sudah sirna.
Selanjutnya mari kita kawal agar sanksi FIFA tidak turun. Penghidupan pelaku sepakbola tidak boleh ditumbalkan, hanya karena jualan politik para politisi, apalagi politisi plin-plan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.