JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menempuh metode konvensional buat melacak asal-usul di balik kekayaan tak wajar (illicit enrichment atau unexplained wealth) mantan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo.
Menurut Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, cara itu dilakukan karena sampai saat ini belum terdapat landasan hukum bagi penyidik KPK buat menindak aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara yang diduga mempunyai harta tak wajar dan mencurigakan.
Mantan Hakim Pengadilan Tipikor itu mengatakan, karena delik illicit enrichment belum dicantumkan dan disahkan dalam UU Pemberantasan Tipikor sebagai tindak pidana, maka KPK harus melakukan langkah-langkah konvensional dalam menangani harta tak wajar Rafael.
KPK harus melakukan penyelidikan guna menemukan bukti kalau Rafael memang menerima suap maupun gratifikasi yang membuat harta kekayaan pejabat pajak itu tidak sesuai profil gaji dan jabatannya.
Baca juga: KPK Sebut Rafael Bisa Jadi Tersangka Jika Indonesia Terapkan Illicit Enrichment
“Jadi (Direktorat) Penyelidikan akan melakukan gerak-gerak penyelidikan dalam bentuk konvensional,” kata Nawawi dalam keterangannya, Minggu (5/3/2023).
Delik pidana tentang kekayaan tak wajar atau illicit enrichment, kata Nawawi, nyaris dicantumkan dalam pasal 37 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam pasal itu diatur pejabat harus melaporkan seluruh harta bendanya, istrinya, anaknya, berikut korporasi yang berhubungan.
Jika ia tidak bisa membuktikan asal usul kepemilikan hartanya, maka pejabat terkait bisa diusut.
Baca juga: Asal-usul Rubicon Milik Rafael Alun, Belum Balik Nama dan Disebut Dijual ke Kakaknya
Kalau delik itu masuk dalam undang-undang dan diberlakukan, maka laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bisa digunakan menjadi alat bukti penyidik buat mengusut dugaan kepemilikan harta tak wajar itu.
“Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan itu, maka LHKPN dijadikan sebagai bukti. Itu kan pentingnya LHKPN,” ujar Nawawi.
Diberitakan sebelumnya, harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo sebesar Rp 56,1 miliar menjadi sorotan setelah anaknya, Mario Dandy Satrio (20) melakukan penganiayaan terhadap D (17), yang merupakan anak pengurus GP Ansor.
Kebiasaan Mario memamerkan gaya hidup mewah melalui media sosial lantas terkuak oleh warganet usai kasus penganiayaan itu. Latar belakang keluarganya, termasuk pekerjaan sang ayah, juga ikut terbongkar.
Baca juga: PPATK: Transaksi Konsultan Pajak Terduga Nominee Rafael Bernilai Signifikan
Alhasil kekayaan keluarga Rafael lantas menimbulkan pertanyaan karena dinilai janggal buat seorang pejabat Dirjen Pajak.
Di sisi lain, setelah kasus itu terungkap kejanggalan mengenai harta kekayaan Rafael perlahan terungkap.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun menyatakan sudah mengendus transaksi mencurigakan Rafael sejak 2003.