JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan Pemilu 2024 berujung polemik.
Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Jakpus memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan Pemilu 2024 yang kini tengah berjalan.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," bunyi diktum kelima amar putusan tersebut.
Perkara ini bermula dari gugatan yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) ke PN Jakpus. Sebelumnya, Prima merasa dirugikan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Dalam tahapan verifikasi administrasi, partai pendatang baru tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan, sehingga tidak bisa berproses ke tahapan verifikasi faktual.
Namun, Prima merasa telah memenuhi syarat keanggotaan dan menganggap bahwa Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU bermasalah dan menjadi biang keladi tidak lolosnya mereka dalam tahapan verifikasi administrasi.
Sebelum menggugat ke PN Jakpus, perkara serupa sempat dilaporkan Prima ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Namun, Bawaslu lewat putusannya menyatakan KPU RI tidak terbukti melakukan pelanggaran dalam tahapan verifikasi administrasi Prima.
Putusan PN Jakpus ini pun banjir kritik. Ahli hukum hingga pegiat pemilu ramai-ramai menolak putusan yang memerintahkan penundaan pemilu tersebut.
Putusan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahkan dianggap melawan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Lantas, bagaimana bunyi konstitusi dan undang-undang terkait penyelenggaraan pemilu?
Pelaksanaan pemilu diatur dalam UUD 1945 khususnya Pasal 22E. Beleid tersebut menyatakan, pemilu digelar setiap lima tahun sekali.
"Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali," bunyi Pasal 22E Ayat (1) konstitusi.
Adapun menurut konstitusi, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Baca juga: Istana: Pemerintah Tetap Dukung Pemilu 2024 Sesuai Jadwal
UU Nomor 7 Tahun 2017 sedianya mengatur soal penundaan pemilu dan mekanisme pemilu lanjutan serta pemilu susulan. Namun, menurut UU, pemilu dapat ditunda hanya jika dalam kondisi tertentu.
Pasal 431 Ayat (1) UU tersebut berbunyi, "Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat
dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan".