PUTUSAN perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023), yang antara lain memerintahkan penghentian tahapan Pemilu 2024 terus menuai kecaman. Dari Melbourne, Australia, praktisi dan guru besar hukum tata negara Denny Indrayana turut angkat suara.
Seperti telah ramai jadi pemberitaan, kasus ini merupakan gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima merasa dirugikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Menjadi soal, di amar putusan perkara perdata itu antara lain dinyatakan dengan jelas perintah menghentikan tahapan Pemilu 2024. Ada batas waktunya pula. Ini yang oleh publik dibaca sebagai perintah penundaan pemilu.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Tak Ada Kewenangan Pengadilan Perdata soal Pemilu, Hakimnya Layak Dipecat
"Hebatnya lagi, dari biasanya butuh waktu cukup lama untuk mendapatkannya, salinan putusan tersebut langsung beredar. Ini prestasi yang patut diapresiasi sekaligus menimbulkan pertanyaan," ujar Denny mengawali pendapatnya soal putusan perkara perdata ini, Jumat (3/3/2023).
Dari perkara itu, lanjut Denny, yang langsung mengundang reaksi publik dan dibaca sebagai perintah penundaan pemilu adalah bunyi butir ke-5 dan ke-6 amar putusan.
Butir ke-5 amar putusan menyatakan:
Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
Lebih jauh, butir ke-6 amar putusan memerintahkan:
Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad).
Baca juga: Bunyi Putusan PN Jakpus yang Perintahkan KPU Tunda Pemilu 2024
Menyikapi putusan perdata PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan yang diajukan Prima, Denny menyebut setidaknya ada lima cacat.
"Ada panca cacat putusan PN Jakarta Pusat yang menyebabkan putusan tersebut wajib tidak dilaksanakan, apalagi serta-merta," ungkap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini.
Denny menyebut, setiap putusan pengadilan memang harus dihormati. Namun, bila putusan itu tidak cacat hukum yang fatal. Cacat hukum yang fatal menyebabkan sebuah putusan tidak dapat dilaksanakan alias non-executable.
"Putusan PN Jakarta Pusat jelas mengandung cacat hukum yang mendasar sehingga tidak dapat dilaksanakan," tegas Denny.
Menurut Denny, akan ada perdebatan lebih lanjut soal butir ke-6 amar putusan yang memerintahkan pelaksanaan secara serta-merta. Namun, Denny pun berpendapat bahwa amar ini harus diabaikan.
Cacat hukum mendasar yang dilakukan majelis hakim perkara ini, ungkap Denny, adalah memutuskan perkara yang bukan yurisdiksinya.