JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan Pemilu 2024 aneh dan membingungkan.
Putusan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Putusan aneh dan membingungkan. Satu putusan yang tidak ada dalam skema penegakan hukum pemilu dalam UU Pemilu kita," kata Hadar kepada Kompas.com, Jumat (3/3/2023).
Baca juga: Perjalanan PRIMA Gugat KPU 4 Kali hingga Menang di PN Jakpus, Berujung Kisruh Tunda Pemilu
Hadar menyebutkan, pada prinsipnya pemilu harus dilaksanakan tepat waktu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22 E mengamanatkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Memang, UU Pemilu membuka kesempatan dilakukannya penundaan pemilu dan pemilu susulan. Namun, mekanisme ini diatur secara ketat dan terbatas.
Pasal 431 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa penundaan pemilu dimungkinkan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam.
Sementara, putusan PN Jakpus soal penundaan pemilu tak merinci perihal faktor yang menyebabkan Pemilu 2024 harus ditunda, seberapa besar wilayah penundaan, dan pihak mana yang menetapkan penundaan.
“Penundaan yang kemudian dilanjutkan oleh pemilu susulan atau pemilu ulang dalam UU Pemilu telah diatur secara ketat dan terbatas,” ucap Hadar.
Baca juga: Partai Prima Menang di PN Jakpus, KPU Pastikan Peserta Pemilu 2024 Masih 24 Parpol
Lagi pula, UU Pemilu tak memberikan amanat buat Pengadilan Negeri (PN) untuk dapat memutuskan sengketa terkait pemilu.
Menurut Pasal 470 dan Pasal 471 UU tersebut, gugatan atau sengketa terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Negeri.
Oleh karena Pengadilan Negeri tak punya wewenang, menurut Hadar, seharusnya sejak awal perkara ini dinyatakan sebagai gugatan yang tidak dapat diterima.
“Jadi, putusan perkara perdata di PN Jakpus karena tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Pemilu, suatu UU bersifat khusus, maka putusan PN dapat menjadi putusan yang tidak dapat dilaksanakan,” kata Hadar.
Dengan sejumlah alasan tersebut, Hadar menilai KPU tak perlu menunda dan tetap melanjutkan tahapan Pemilu 2024 sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan.
Menurut dia, KPU telah benar menyikapi putusan ini dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
“Walau prioritas utama mereka adalah melaksakan tahapan sesuai jadwal dengan berkualitas, jujur, adil, tranparan dan seterusnya sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaran pemilu,” katanya.