JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebaiknya melaporkan dugaan praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam proses pemilu ke aparat penegak hukum yang berkaitan dengan pidana.
Sebelumnya, PPATK menyampaikan bahwa terdapat indikasi dana-dana hasil usaha ilegal mengalir ke peserta pemilu, tak terkecuali partai politik.
"Masalahnya, Bawaslu itu tugasnya pada (mengawasi) dana kampanye. Tahapan kampanye belum dimulai. Tahapan kampanye dimulai 28 November 2023," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja dalam diskusi bertajuk "Setahun Jelang Pemilu, Mata Rakyat Tertuju ke KPU dan Bawaslu" yang ditayangkan pada kanal YouTube Survei KedaiKOPI, Senin (20/2/2023).
"Ini kan area yang seharusnya bertuan. Yang seharusnya dilakukan PPATK koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, dan KPK," kata dia.
Baca juga: Bareskrim Libatkan PPATK Telusuri Aliran Dana TPPU di Kasus KSP Indosurya
Bagja menilai, 3 lembaga tersebut bisa mendalami informasi yang disampaikan PPATK dan memprosesnya secara hukum. Ia menegaskan, bukan ranah Bawaslu untuk mengusut hal itu saat ini.
Berbeda halnya jika aliran dana ilegal ini mengalir ke peserta pemilu pada tahapan kampanye.
"Karena seluruh laporan pidana pemilu itu harus melalui pintu Bawaslu," ujar Bagja.
Sebelumnya, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyinggung dugaan TPPU ini dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI pada Selasa (14/2/2023).
Ivan menyebut modus pendanaan pemilu ini sudah berlangsung sejak lama.
"Ini sudah berlangsung beberapa tahun, beberapa kali putaran pemilu, di periode sebelumnya dan sudah kami sering laporkan kepada forum mulia ini, forum yang terhormat ini," ucap dia.
Salah satu dana dari usaha ilegal yang dimaksud adalah uang hasil kejahatan lingkungan atau green financial crime (GFC) yang disebut meningkat triliunan rupiah dalam setahun terakhir.
Baca juga: Minta PPATK Serius Lacak Dana Besar untuk Tunda Pemilu, Benny K Harman: Cium Bau-baunya
Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono memaparkan, pada 2021, Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dalam kategori ini meningkat dari 60 LTKM bank menjadi 191 LTKM bank pada 2022.
Nominalnya juga membengkak signifikan, dari Rp 883,2 miliar pada 2021 menjadi Rp 3,8 triliu pada 2022.
Pada LTKM nonbank, uang hasil tindak pidana lingkungan hidup juga naik.
Pada 2021, tercatat 49 LTKM nonbank dengan nominal Rp 145,3 miliar. Pada 2022, jumlahnya menjadi 160 LTKM non-bank dengan nominal Rp 184,3 miliar.