Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asosiasi Pendidikan Kedokteran Sebut Distribusi Dokter di Tanah Air Tak Merata

Kompas.com - 14/11/2022, 21:53 WIB
Tatang Guritno,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Budi Santoso mengatakan, salah satu masalah kesehatan di Indonesia terletak pada distribusi dokter yang tidak merata.

Ia mengungkapkan, berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter umum di Indonesia saat ini 170.000 orang.

Sementara jumlah penduduk Indonesia berada di angka 270 juta. Jika menggunakan rasio satu dokter untuk melayani seribu pasien, saat ini masih dibutuhkan 100.000 dokter.

“Jadi yang sebenarnya jadi problem menojol adalah maldistribusi. Oleh karena itu, meningkatkan produksi jangan dilupakan distribusi yang (juga harus) dikerjakan,” kata Budi dalam rapat dengar pendapat bersama Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (14/11/2022).

Baca juga: HR Soeharto, Dokter Pribadi Soekarno yang Dianugerahi Gelar Pahlawan

Menurut Budi, situasi itu juga terjadi pada dokter spesialis.

Saat ini jumlah populasinya banyak menumpuk di provinsi besar seperti DKI Jakarta, Bali, dan Yogyakarta.

Namun, masih banyak wilayah lain yang kekurangan dokter spesialis seperti di Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku Utara.

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah memberikan program beasiswa untuk para dokter spesialis.

“Tapi mungkin sebagai bentuk pengabdian dokter yang sudah disekolahkan negara mereka harus mengabdi di masyarakat,” ujar Budi.

Baca juga: Menkes Akui Distribusi Dokter Belum Merata

Dalam pandangan Budi, upaya melahirkan dokter umum dan dokter spesialis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama, termasuk melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Ia merasa Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sudah menjadi kebijakan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dokter.

Dalam kesempatan itu, Budi meminta Baleg DPR tak perlu memasukan UU tersebut dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan omnibus law.

“Jadi, kalau bisa masalah pendidikan ada UU Pendidikan Kedokteran dan itu kita pakai acuan, tanpa digabung RUU Kesehatan,” katanya.

Baca juga: Menko PMK Sebut Ketimpangan Distribusi Dokter Jadi Tantangan Terbesar Kesehatan Nasional

Diketahui, DPR telah menyetujui RUU Kesehatan Omnibus Law dimasukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2023.

Namun, prosesnya menimbulkan pro dan kontra. Sebab, lima organisasi profesi yakni IDI, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tidak menyetujui pembuatan RUU tersebut.

Kelima organisasi profesi itu menolak UU Profesi dihapus dalam RUU Kesehatan.

Nantinya, RUU Kesehatan Omnibus Law bakal berisi sejumlah regulasi yang tertuang dalam UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Farmasi, hingga UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Baca juga: Sejumlah Daerah di Sumsel Masih Kekurangan Dokter Spesialis Saraf

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com