JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan 11 titik rentan bagi perempuan pekerja rumahan atau pekerja informal.
Salah satunya, tak ada upah tambahan saat mereka harus bekerja di luar jam kerja atau lembur.
Padahal, hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja yang sudah tertuang dalam UU Ketenagakerjaan.
"(Terjadi) jam kerja yang panjang tanpa hak atas lembur," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan tertulis, Jumat (28/10/2022).
Baca juga: Kemenko PMK Gandeng KUPI Atasi Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Migran
Temuan kedua yaitu pekerja rumahan sering kali dibayar dengan upah di bawah ketentuan upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah.
Komnas Perempuan juga menemukan pekerja rumahan tidak memiliki perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
"(Juga) ketiadaan tunjangan kerja, (keenam) ketiadaan jaminan sosial," kata Andy.
Ketujuh, ketiadaan perlindungan maternitas atau kesehatan reproduksi.
Delapan, pekerja rumahan menanggung segala biaya risiko dan produksi. Sembilan, mereka juga tidak mendapat stabilitas dan jaminan pekerjaan.
"(Berikutnya terjadi) pelibatan pekerja anak akibat rantai pasok eksploitatif dan tidak dapat mengakses mekanisme perselisihan," kata Andy.
Terakhir, tidak dapat mengakses pengaduan pengawasan ketenagakerjaan dari pemerintah setempat.
Baca juga: Komnas Perempuan Minta MK Kabulkan Permohonan Pekerja Rumahan yang Uji Undang-Undang Ketenagakerjaan
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendukung lima perempuan pekerja rumahan yang melakukan permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Komnas meminta agar Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya.
"Atau paling tidak, menyatakan permohonan para pemohon dapat diterima," kata Andy.
Lima tenaga kerja rumahan mengajukan permohonan uji UU Ketenagakerjaan yang disampaikan ke MK pada 21 Juli 2022 dengan nomor perkara 75/PUU-XX/2022.