Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Kasus Helikopter AW-101, Pengamat Nilai TNI yang Mestinya Didorong Tegakkan Hukum

Kompas.com - 14/10/2022, 20:46 WIB
Syakirun Ni'am,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, terkait penanganan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101, pihak TNI yang mestinya didorong untuk menegakkan hukum.

“Jadi menurut saya memang yang harus didorong justru adalah penegakan hukum oleh POM (Polisi Militer) TNI,” kata Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Jumat (14/10/2022).

Sebagaimana diketahui, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh memperkaya eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Purnawirawan Agus Supriatna sebesar Rp 17,7 miliar.

Baca juga: Pembelaan Eks KSAU Usai Namanya Diseret Dalam Kasus Dugaan Korupsi Helikopter AW-101

Meski Agus diduga diperkaya dalam kasus korupsi itu, kata Zaenur, KPK tidak bisa mengusutnya. Sebab, saat peristiwa korupsi itu terjadi, Agus masih berstatus anggota TNI. 

Sementara itu, kasus yang menjerat prajurit TNI, termasuk korupsi, ditangani POM TNI.

Namun, dalam perkembangannya, kasus itu dihentikan oleh pihak TNI.

Menurut Zaenur, dalam persidangan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter angkut (AW)-101 yang menjerat Irfan akan dibuka dengan detail, berikut peran-peran para pihak dalam perkara ini.

Karena itu, jika POM TNI tidak melakukan tindakan hukum sebagaimana KPK, hal ini akan menjadi penilaian tersendiri oleh masyarakat.

“Dengan fakta-fakta yang terbukti di depan persidangan ya rakyat bisa menilai bagaimana penegakan hukum oleh TNI,” ujar dia.

Zaenur mencontohkan, jika dalam persidangan Irfan terungkap keterlibatan sejumlah anggota TNI yang saat ini masih aktif maupun sudah purnawirawan dalam korupsi itu, namun POM TNI tidak memproses dan membawanya ke Pengadilan Militer, sikap TNI akan dipertanyakan publik.

“Menjadi pertanyaan ada apa fakta peradilan umum itu tidak diproses oleh POM TNI dan dibawa ke peradilan militer?” kata Zaenur.

“Karena itu rakyat kemudian bisa menilai bagaimana sikap penegakan hukum di institusi TNI,” ujar dia.

Baca juga: Detail Spesifikasi Helikopter AW-101 TNI AU yang Dikorupsi

Sebelumnya, dalam sidang dugaan kasus pembelian helikopter angkut AW-101, Jaksa menyebut Irfan melakukan korupsi bersama sejumlah orang, salah satunya adalah Agus dan bawahannya.

Irfan didakwa memperkaya Agus sebesar Rp 17.733.600.000 atau Rp 17,7 miliar.

Ia juga diakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183.207.870.911,13; korporasi AgustaWestland 29.500.000 dolar AS atau Rp 391.616.035.000; serta perusahaan Lejardo. Pte.Ltd., sebesar 10.950.826,37 dolar AS atau Rp 146.342.494.088,87.

Perbuatannya disebut merugikan negara Rp 738,9 miliar.

Sementara itu, kuasa hukum Agus, Pahrozi membantah kliennya menerima uang Rp 17 miliar. Menurut dia, dakwaan Jaksa KPK tendensius dan memuat pesanan.

Pahrozi mengeklaim kliennya tidak pernah bertemu dengan Irfan maupun menerima janji dari pihak swasta.

“Jangankan melihat, ada janji apapun tidak pernah dengan swasta,” kata Pahrozi saat dihubungi awak media, Kamis (13/10/2022).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com