THE Devil is in the details. Suatu idiom yang selalu diajarkan kepada para calon sarjana hukum di berbagai universitas di Indonesia.
Kecermatan dalam menulis adalah aset terpenting yang harus dimiliki oleh seorang sarjana hukum, terlebih ketika mengemban tanggung jawab besar untuk merancang dan menegosiasikan suatu perjanjian.
Apabila tidak dilakukan dengan kecermatan dan kehati-hatian, perjanjian yang sepintas tampak sebagai kemenangan besar, akan menjadi kekalahan telak bila dilihat secara mendetail.
Tanggal 8 September 2022, Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa Perjanjian Penyesuaian Garis Batas Flight Information Region (FIR) yang ditandatangani pada 25 Januari 2022 disahkan ratifikasinya melalui Perpres Nomor 109 Tahun 2022.
Pengumuman ini kemudian diikuti dengan publikasi perpres tersebut dan Perjanjian FIR sebagai lampirannya.
Baca juga: Ratifikasi Perjanjian FIR Disahkan, Apa Langkah Indonesia Selanjutnya?
Sepintas, pengesahan ratifikasi Perjanjian FIR terlihat sebagai kemenangan bagi Pemerintah Indonesia, karena telah memenuhi tenggat waktu pengambilalihan kembali pengelolaan ruang udara sebagaimana diatur dalam Pasal 458 Undang-Undang (UU) Penerbangan.
Namun, bila dicermati dengan kehati-hatian, masyarakat dapat melihat beberapa pasal dalam Perjanjian FIR yang sangat memberatkan Indonesia.
Pasal-pasal yang memberatkan ini, justru bila dikaji lebih lanjut, dapat mengubah persepsi kemenangan Perjanjian FIR oleh Indonesia, menjadi suatu kekalahan telak.
Beberapa pasal yang seharusnya bisa menjamin terjaganya kedaulatan Indonesia, justru tidak muncul, atau hanya diatur secara terbatas. Perjanjian FIR yang telah ditandatangani ini terkesan menembak kaki sendiri.
Pengorbanan yang diberikan begitu besar untuk mendapatkan suatu hal kecil yang belum ada kepastian.
Ketidakcermatan Pemerintah Indonesia dalam merancang Perjanjian FIR Tahun 2022 dapat terlihat dalam beberapa frasa yang digunakan dalam perjanjian tersebut.
Pasal 2 Perjanjian FIR 2022 menuliskan bahwa Indonesia, “…shall delegate to the Republic of Singapore the provision of air navigation services…”.
Hal ini berarti, Indonesia mewajibkan dirinya sendiri untuk mendelegasikan penyediaan jasa navigasi udara, pada Ruang Udara Indonesia yang termasuk ke dalam FIR Singapura.
Mewajibkan diri sendiri ini sangat berbeda dengan posisi Indonesia dalam Perjanjian FIR Tahun 1995. Dalam perjanjain sebelumnya, bunyinya adalah, Indonesia “…will delegate…”, atau “akan mendelegasikan”.
Ketentuan itu menjadi suatu kejutan bagi masyarakat Indonesia, karena Indonesia telah mewajibkan dirinya sendiri untuk menyerahkan sebagian hak berdaulatnya ke negara lain.